Sabtu, 05 Maret 2011

Hikayat Rumpon nelayan mandar


Salah satu rumpon di Teluk Mandar.

Sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas secara sepihak merusak rumpon milik nelayan Mandar di perairan Selat Makassar. Investor yang mengantongi izin pemerintah ini dituding semena-mena karena memutus mata rantai usaha perikanan para nelayan yang sudah berlangsung sejak lama. Citizen reporter Ridwan Alimuddin melakukan penelitian tentang rumpon dan menyimpulkan bahwa alat bantu penangkapan ikan itu sangat kompleks: ekonomis dan efektif, melibatkan banyak tenaga kerja, dipasang di laut yang juga jalur lalu lintas laut dan lokasi minyak, mempunyai pranata dan kemampuan adaptasi teknologi dan merupakan salah satu puncak kebudayaan bahari di nusantara.(p!)

Dunia kemaritiman di Sulawesi Barat mengalami dua peristiwa penting sepanjang tahun 2007. Pertama, kegiatan Kampanye Makan Ikan yang gagal memecahkan rekor dan dikritik karena memboroskan anggaran sebesar hampir Rp400 juta. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan menuding kegagalan disebabkan karena banyak ikan yang tidak dibakar atau dimakan di lokasi kegiatan melainkan justru dibawa pulang oleh penduduk. Ada yang bilang, siapa suruh melakukan kampanye makan ikan di kampung pemakan ikan. Wajar saja kalau ikannya dibawa pulang!

Peristiwa kedua adalah konflik antara nelayan Mandar dengan investor tambang minyak dan gas. Peristiwa ini dikenal sebagai “kasus rumpon”, sebab ditandai dengan pemutusan ratusan rumpon milik nelayan oleh kapal survei minyak milik investor itu.

Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari pelampung (bambu atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung), dan pemberat (batu). Rumpon yang mirip dengan rakit, dalam bahasa Mandar disebut roppo atau roppong atau dalam bahasa Bugis - Makassar disbeut rumpong.

Meski hanya sebagai alat bantu penangkapan, keberadaan rumpon amat penting. Bisa dikatakan, kebudayaan bahari Mandar tidak berkembang seperti saat ini bila tak ada rumpon. Hampir semua aktivitas kemaritiman nelayan Mandar berhubungan dengan rumpon, baik langsung maupun tidak langsung. Sandeq misalnya. Perahu ini didesain untuk beroperasi di laut dalam tempat rumpon berada. Sandeq dibuat ringkih tapi kuat agar lincah mengejar ikan di sekitar rumpon. Nelayan Mandar juga identik dengan nelayan spesialisasi ikan pelagis besar (tuna) yang lebih mudah ditangkap di sekitar rumpon. Bahkan nelayan yang beroperasi di pesisir pun menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan, yaitu menarik perhatian ikan.

Saat ini, sebagian besar pendapatan dari sektor perikanan di Sulawesi Barat berasal dari pemanfaatan rumpon, baik yang berada di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Banda, dan perairan selatan Bali dan Lombok.

Asal rumpon
Kawasan laut dalam di sepanjang Selat Makassar (perairan Tolitoli di utara hingga utara Pulau Kapoposang di selatan) dipenuhi rumpon yang dipasang nelayan yang bermukim di pesisir. Kampung nelayan di wilayah ini di antaranya terdapat di Kabupaten Mamuju Utara dan Mamuju, pesisir Teluk Mandar (Majene dan Polman), Ujung Lero (Pinrang), dan Pulau Kapoposang/Pandangang (Pangkep).

Schlais (1981) dalam sebuah publikasi badan PBB, FAO, menyebut bahwa teknologi rumpon diduga pertama kali dikembangkan oleh nelayan Mandar. Informasi ini mendorong saya untuk memahami lebih lanjut meski pencarian informasi relatif susah sebab referensi mendalam mengenai kebudayaan bahari Mandar, khususnya rumpon, belum banyak. Di antara yang sedikit itu, adalah tesis karya Baharuddin Lopa berjudul Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan (Penerbit Alumni, Bandung, 1982).

Rujukan lebih lama ditulis Caron (1937), Gubernur Sulawesi pada zaman Belanda, yang menerjemahkan sebuah naskah lontara dari Soppengriaja. Ia menjelaskan bahwa rumpon adalah potongan-potongan bambu panjang yang ditanam di dasar laut dengan diikatkan daun-daun kelapa, yang berfungsi sebagai tempat persembunyian ikan. Nijhoff (1919) di dalam bukunya memberi penjelasan bahwa apa yang disebut rumpon adalah bedekken (menutupi) yang kemudian diartikan sebagai alat untuk menutupi sebatang pohon agar tidak dapat dipanjat; juga dapat diartikan sebagai menutupi suatu jalan agar tidak dapat dilalui orang (Kamus Mandar-Indonesia oleh Abdul Muthalib, 1977).

Dari dua pengertian tersebut, Lopa menyimpulkan bahwa rumpon dapat diartikan sebagai batas wilayah teritorial laut beberapa kerajaan di kawasan pesisir barat Pulau Sulawesi (atau pesisir utara Provinsi Sulawesi Barat sekarang ini), selain fungsi utamanya sebagai alat pengumpul ikan.

Lopa mengemukakan, awalnya rumpon adalah batas beberapa kerajaan di tanah Mandar yang terletak di laut. Alasan itu dapat dirujuk pada peristilahan roppo yang berarti “menutupi”. Kegiatan menutupi kulit suatu pohon produktif dengan bahan pelindung agar tidak dikuliti atau dimakan kambing disebut marroppo’i. Istilah juga berlaku jika memberi pagar atas suatu kebun.


Prosesi ritual pembuatan rumpon.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Istilah roppo jamak digunakan oleh nelayan Mandar di Majene sedang yang di Polman menggunakan istilah roppong. Dalam bahasa Mandar, arti lain dari roppong adalah sampah. Atas dasar itu, salah satu dugaan mengapa ada roppong (sebagai alat bantu penangkapan ikan) adalah mungkin dulunya nelayan Mandar mendapati ikan-ikan berkerumun di bawah roppong (sebagai sampah) yang terapung di lautan.

Menurut Munsi Lampe (1996), antropolog maritim Universitas Hasanuddin yang melakukan penelitian rumpon di Kassi, Bulukumba, rumpon awalnya dikembangkan oleh nelayan Mandar. Belakangan teknologi tersebut diadopsi oleh nelayan Bugis – Makassar. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Horst H. Liebner yang mempelajari teknik penangkapan ikan di rumpon oleh nelayan Mandar di Majene. Horst yakin bahwa nelayan Mandar-lah yang menyebarkan teknik rumpon ciptaannya tersebut ke berbagai tempat di nusantara.

Dalam dunia perikanan nusantara, sebagaimana yang dikemukakan Walujo Subani (1972) dalam buku Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia dan Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos di Indonesia dalam Jurnal Perikanan Laut No. 35 Tahun 1986, rumpon Mandar juga dikenal dengan nama rumpon laut dalam.

Disebut demikian karena rumpon milik nelayan Mandar hampir semuanya dipasang di laut dalam. Beda dengan nelayan lain di Indonesia, misalnya di pesisir Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, rumpon-rumponya berada di laut dangkal, yaitu kisaran 40-50 meter. Bandingkan dengan nelayan Mandar yang rumponnya berada di laut pada kisaran kedalaman 300 – 2.500 meter.

Lokasi geografis rumpon yang berada di kawasan berbahaya adalah salah satu alasan bahwa rumpon awalnya dikembangkan oleh nelayan Mandar. Pembuktian lain juga dapat didasarkan pada prilaku nelayan Mandar terhadap rumpon mereka, yaitu penggunaan ritual-mistik dan pranata hukum.

Hak ulayat
Dari beberapa bentuk hak ulayat laut yang dikenal di nusantara, aturan pemasangan dan pemanfaatan rumpon memiliki keunikan sebab lokasinya mencakup laut lepas. Dengan kata lain, tidak mengutamakan tanda-tanda di darat (landmark) sebagai alat penanda. Berbeda dengan bentuk hak ulayat laut di Maluku (sasi), Papua, dan Sulawesi Utara.

Rumpon pada dasarnya adalah sebuah benda atau teknologi, namun pada prakteknya berlaku aturan yang bersifat abstrak. Untuk itulah dikenal istilah hak ulayat rumpon. Sebagai salah satu bentuk pengelolaan wilayah laut yang prakteknya sudah berlangsung selama ratusan tahun, pengelolaan rumpon di Teluk Mandar atau Selat Makassar juga memiliki beberapa aturan tidak tertulis yang berlaku di kalangan nelayan Mandar, yang sampai sekarang tetap mereka hormati. Aturan-aturan tersebut menjadikan pengelolaan rumpon oleh nelayan sebagai salah satu bentuk hak ulayat laut yang perlu dilestarikan di Indonesia.

Variabel-variabel pokok di dalam hak ulayat laut adalah: wilayah; unit sosial pemilik hak; dan legalitas beserta pelaksanaannya. Sudirman Saad (2000) menyimpulkan bahwa hak ulayat (laut) paling sedikit memiliki 3 unsur pokok, yaitu: masyarakat hukum sebagai subyek hak ulayat; institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat; dan wilayah yang merupakan obyek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.


Upacara memasang rumpon di laut.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Merujuk pada pengertian hukum adat, maka dapat dikatakan bahwa klaim penguasaan perairan di sekitar rumpon termasuk hukum adat, karena merupakan hukum yang hidup sebagai peraturan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup.

Menurut penelitian Sudirman Saad di Kabupaten Bulukumba, aturan-aturan nelayan rumpon memenuhi aturan untuk dijadikan hukum adat atau hak ulayat, yaitu: parromppong memiliki hak menguasai untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar rumponnya, pengecualian terhadap monopoli ini ialah penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa pancing; klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan; dan terhadap rumpon yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan penangkapan ikan), pemilik rumpon masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada orang lain yang bermaksud memasang rumpon baru atau melakukan penangkapan ikan pada rumpon lama.

Adapun kewajiban para parromppong adalah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah klaimnya itu. Selain itu, ia juga berkewajiban memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan, apabila hanya menggunakan alat tangkap pancing.

Dari deskripsi mengenai klaim penguasaan perairan oleh nelayan parromppong tersebut di atas, klaim yang sama dapat juga berlaku untuk pemanfaatan rumpon oleh nelayan Mandar. Meski dari penelitian yang penulis lakukan aturan-aturan yang berlaku di Mandar lebih banyak dibanding yang ditemukan Saad di Bulukumba, namun pada dasarnya adalah sama.

Aturan parroppongang
Berikut adalah poin-poin “aturan" parroppongang yang dipraktekkan nelayan Mandar: jarak antarroppong adalah, ketika dilakukan operasi penangkapan secara bersamaan, keduanya tidak saling mengganggu; nelayan yang lebih dulu memasang roppong mempunyai hak-hak istimewa dalam menyelesaikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penempatan roppong; bila ada dua roppong saling kait (berhubungan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan), nelayan yang lebih dulu memasang berhak untuk memiliki roppong tersebut, jika yang berpindah adalah bagian-bagian roppong yang melayang/terapung di laut; jika yang berpindah adalah roppong secara keseluruhan, baik yang terapung maupun yang tenggelam, maka hak kepemilikan roppong yang mendekat diserahkan kepada nelayan yang roppongnya didekati; bila ada bagian roppong yang terlepas, maka bagian tersebut dinyatakan sebagai barang hanyut sehingga pihak yang menemukan berhak memilikinya; nelayan lain diijinkan untuk memanfaatkan roppong, baik untuk menambatkan perahu maupun untuk menangkap ikan yang ada di roppong selama tidak membahayakan roppong dan alat tangkap yang digunakan tidak berskala besar, seperti jala, gae kecuali mendapat izin dari pemilik roppong atau memberitahukan ketika selesai melakukan operasi penangkapan (memberi bagian hasil tangkapan).

Jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan, konvensi di antara para nelayan rumpon ini jelas lebih membumi. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon sebagai pengganti Keputusan Menteri Pertanian No.51 /Kpts/ IK.250/I/1997 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon, menghilangkan pembagian jenis-jenis rumpon (rumpon perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam).

Menurut ketentuan Kepmen Kelautan dan Perikanan itu, wilayah pemasangan dan pemanfaatan rumpon serta kewenangan pemberian izinnya adalah: perairan 2 mil laut sampai 4 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut terendah, pemberi izin adalah bupati/walikota, dengan masa berlaku izin 2 tahun; perairan di atas 4 mil laut sampai 12 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut terendah, pemberi izin adalah gubernur dengan masa berlaku izin 2 tahun; perairan diatas 12 mil laut dan ZEEI, pemberi izin adalah Ditjen Perikanan Tangkap dengan masa berlaku izin 2 tahun.

Dalam pemasangannya dipersyaratkan hal-hal sebagai berikut: tidak mengganggu alur pelayaran; jarak antarrumpon tidak kurang dari 10 mil laut; tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zig-zag). Pemasang rumpon juga dikenakan kewajiban untuk: memasang tanda pengenal (Pasal 11); membongkar dan mengangkat rumpon yang sudah tidak dimanfaatkan lagi atau telah habis masa izinnya (Pasal 7 ayat 2); dan menyampaikan laporan pemanfaatannya kepada pemberi izin setiap 6 bulan sekali (Pasal 15).

Dalam prosedur permohonan ijin disebutkan, harus dilakukan penilaian terhadap administrasi pemohon maupun lokasi perairan. Penilaian lokasi pemasangan rumpon harus memperhatikan: apakah daerah tersebut tidak merupakan alur pelayaran atau kepentingan lainnya seperti daerah suaka, atau daerah lainnya; apakah daerah tersebut tidak merupakan konsentrasi penangkapan ikan nelayan-nelayan yang tidak menggunakan rumpon; apakah daerah tersebut berbatasan dengan propinsi lain, untuk itu maka Dinas Perikanan dan Kelautan dari domisili pemohon ijin rumpon ditujukan kepada propinsi tersebut.

Terdapat perbedaan mencolok antara apa yang dikembangkan oleh nelayan, yang sudah berumur ratusan tahun, dengan apa yang ditetapkan pemerintah, yang hanya mengadopsi dari undang-undang tentang otonomi daerah.


Rumpon yang sudah siap beroperasi.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Mari kita lihat susahnya menjalani prosedur perijinan yang level paling kecil melibatkan bupati, lalu gubernur, untuk kemudian Ditjen Perikanan Tangkap.

Kesulitan pertama, tak jelas batas di laut: mana batas administrasi kabupaten, provinsi, dan laut nasional. Kedua, rencana pemasangan rumpon tidak terinci dalam segi koordinat. Kadang-kadang, faktor lingkungan laut dipengaruhi oleh “ilham” bahwa di sinilah tempat yang cocok. Ketiga, penentu utama lokasi pemasangan rumpon adalah nelayan lapangan, bukan si pemilik rumpon (pemilik modal). Keempat, bagaimana prosedur perijinannya, bagaimana kalau lokasi tak sesuai?


Ide pemetaan rumpon
Lokasi rumpon nelayan Mandar banyak terdapat di Teluk Mandar, Selat Makassar, Laut Flores, Teluk Bone, dan Laut Banda namun tidak semuanya dimiliki oleh nelayan Mandar. Ada yang menggunakan sistem bagi hasil dengan juragan dari daerah lain, misalnya pengusaha ikan di Bone atau Kajang.

Yang menarik adalah rumpon-rumpon milik orang Mandar yang berada di kabupaten atau provinsi lain, terkait dengan implikasi kebijakan otonomi daerah. Lokasi rumpon sebagian besar terletak di luar batas tiga-perempat mil dari 12 mil laut wilayah propinsi, dan atau di luar wilayah kabupaten tempat nelayan rumpon bermukim.

Paling tidak ada tiga kategori nelayan rumpon bila berdasarkan atas batas-batas kewenangan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota (Pasal 3 UU No. 22/1999) dengan asal nelayan: nelayan yang memiliki wilayah rumpon di wilayah laut kabupaten yang dia tempati; nelayan yang memiliki wilayah rumpon di bagian perairan yang merupakan batas antar dua kewenangan laut, yaitu di perbatasan dengan kabupaten lain dan di perbatasan dengan batas kewenangan laut propinsi; nelayan yang memiliki wilayah rumpon di luar batas kewenangan kabupaten yang dia tempati, yaitu di wilayah kewenangan kabupaten lain dan di wilayah laut kewenangan propinsi atau nasional.

Contoh untuk ketiga kategori di atas: nelayan Majene yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Majene, nelayan Polewali Mandar yang memiliki rumpon di perbatasan Kabupaten Polewali Mandar dengan Kabupaten Majene; nelayan Polewali Mandar yang memiliki rumpon di perbatasan Kabupaten Polewali Mandar (Sulawesi Barat) dengan perairan Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan); nelayan Polewali Mandar yang memasang rumpon di perairan Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan).

Permasalahan tidak akan kompleks bila di kalangan nelayan sudah ada saling pengertian. Biasanya pengertian didasarkan pada tradisi pengelolaan turun-temurun. Sepengetahuan saya, tidak ada kasus besar yang muncul dikarenakan ada perebutan wilayah pemasangan rumpon nelayan kabupaten antarprovinsi. Salah satu alasannya, karena mereka sudah menjalankan tradisi pemanfaatan rumpon selama ratusan tahun; ada aturan tidak tertulis yang sama-sama mereka hormati.

Selain itu, misalnya pemasang dan pengguna rumpon di perairan Pinrang dan Pangkep, umumnya adalah keluarga sendiri, yaitu orang-orang Mandar perantauan di Ujung Lero. Di sini faktor kesamaan budaya berperan nyata.

Walau tidak ada usaha perebutan wilayah rumpon antarsesama nelayan, usaha pencegahannya harus tetap dilakukan sekaligus sebagai bentuk pengakuan wilayah rumpon sebagai salah satu bentuk hak ulayat yang harus dihormati. Pertimbangan lain, konflik kepentingan di lokasi rumpon bukan hanya sebatas antarnelayan rumpon, sektor lain pun dapat menimbulkan konflik kepentingan di laut, seperti transportasi laut dan pertambangan.

Lokasi rumpon secara hukum formal diakui, sebab itu merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Tapi bila melihat teknologi penangkapan yang digunakan, dalam hal ini gae (pukat cincin atau purse seine), sifat tradisional tersebut akan tertutupi apalagi bila memasukan tonase perahu sebagai pertimbangan nelayan tradisional atau bukan.

Untuk membantu memperkuat kekuatan hukum lokasi-lokasi rumpon yang sudah mentradisi menjadi kekuatan hukum yang luas jangkauannya, baik antarsesama nelayan rumpon dari kabupaten/provinsi yang sama, dengan nelayan luar, atau dengan sektor lain di luar usaha perikanan, maka kegiatan pemetaan lokasi-lokasi rumpon secara spesifik perlu untuk dilakukan.

Langkah awal yang penting dilakukan adalah pemetaan lokasi-lokasi rumpon khususnya di Teluk Mandar dan Selat Makassar. Ini untuk mengetahui koordinat yang spesifik dijadikan lokasi pemasangan rumpon. Hasil pemetaan dapat diperluas lagi manfaatnya, misalnya aplikasi bersama penginderaan jauh, untuk menghindari konflik, dan dalam bentuk lain, misalnya wisata bahari.

Kegiatan pemetaan tersebut akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama. Tetapi bila kita berpikir ke depan, usaha tersebut mendesak untuk segera dilakukan. Jika hanya menyelesaian konflik berupa ganti rugi kepada nelayan, bisa dipastikan konflik ke depan akan terus terjadi dan biayanya pun pasti lebih besar.

Coba kita bandingkan, biaya ganti rugi untuk satu rumpon yang rusak berkisar Rp4 hingga Rp15 juta. Bila ada 20 rumpon yang rusak, maka uang yang harus dikeluarkan mencapai ratusan juta, jauh lebih tinggi daripada biaya riset/pemetaan.

Harapan idealnya, misalnya jika ada kapal eksplorasi yang ingin mencari minyak di laut, terlebih dahulu mereka harus mempelajari lokasi yang akan dituju, apakah ada rumpon atau tidak. Jika ya, asal nelayan dan pemiliknya dari mana? Jika terpaksa dilakukan pemutusan, sebelumnya mereka harus bicara baik-baik. Dan bila nelayan akan dirugikan, maka yang datang belakang sebagai pemanfaat harus memberi ganti rugi.

Harapan ini akan terwujud bila ada database yang lengkap mengenai rincian lokasi rumpon, siapa pemiliknya, berapa biaya pembuatannya, berapa efek kerugian jika rumpon diputus, dan lain sebagainya...


lingkargenerasi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar