Sabtu, 05 Maret 2011

Hikayat Rumpon nelayan mandar


Salah satu rumpon di Teluk Mandar.

Sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas secara sepihak merusak rumpon milik nelayan Mandar di perairan Selat Makassar. Investor yang mengantongi izin pemerintah ini dituding semena-mena karena memutus mata rantai usaha perikanan para nelayan yang sudah berlangsung sejak lama. Citizen reporter Ridwan Alimuddin melakukan penelitian tentang rumpon dan menyimpulkan bahwa alat bantu penangkapan ikan itu sangat kompleks: ekonomis dan efektif, melibatkan banyak tenaga kerja, dipasang di laut yang juga jalur lalu lintas laut dan lokasi minyak, mempunyai pranata dan kemampuan adaptasi teknologi dan merupakan salah satu puncak kebudayaan bahari di nusantara.(p!)

Dunia kemaritiman di Sulawesi Barat mengalami dua peristiwa penting sepanjang tahun 2007. Pertama, kegiatan Kampanye Makan Ikan yang gagal memecahkan rekor dan dikritik karena memboroskan anggaran sebesar hampir Rp400 juta. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan menuding kegagalan disebabkan karena banyak ikan yang tidak dibakar atau dimakan di lokasi kegiatan melainkan justru dibawa pulang oleh penduduk. Ada yang bilang, siapa suruh melakukan kampanye makan ikan di kampung pemakan ikan. Wajar saja kalau ikannya dibawa pulang!

Peristiwa kedua adalah konflik antara nelayan Mandar dengan investor tambang minyak dan gas. Peristiwa ini dikenal sebagai “kasus rumpon”, sebab ditandai dengan pemutusan ratusan rumpon milik nelayan oleh kapal survei minyak milik investor itu.

Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari pelampung (bambu atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung), dan pemberat (batu). Rumpon yang mirip dengan rakit, dalam bahasa Mandar disebut roppo atau roppong atau dalam bahasa Bugis - Makassar disbeut rumpong.

Meski hanya sebagai alat bantu penangkapan, keberadaan rumpon amat penting. Bisa dikatakan, kebudayaan bahari Mandar tidak berkembang seperti saat ini bila tak ada rumpon. Hampir semua aktivitas kemaritiman nelayan Mandar berhubungan dengan rumpon, baik langsung maupun tidak langsung. Sandeq misalnya. Perahu ini didesain untuk beroperasi di laut dalam tempat rumpon berada. Sandeq dibuat ringkih tapi kuat agar lincah mengejar ikan di sekitar rumpon. Nelayan Mandar juga identik dengan nelayan spesialisasi ikan pelagis besar (tuna) yang lebih mudah ditangkap di sekitar rumpon. Bahkan nelayan yang beroperasi di pesisir pun menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan, yaitu menarik perhatian ikan.

Saat ini, sebagian besar pendapatan dari sektor perikanan di Sulawesi Barat berasal dari pemanfaatan rumpon, baik yang berada di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Banda, dan perairan selatan Bali dan Lombok.

Asal rumpon
Kawasan laut dalam di sepanjang Selat Makassar (perairan Tolitoli di utara hingga utara Pulau Kapoposang di selatan) dipenuhi rumpon yang dipasang nelayan yang bermukim di pesisir. Kampung nelayan di wilayah ini di antaranya terdapat di Kabupaten Mamuju Utara dan Mamuju, pesisir Teluk Mandar (Majene dan Polman), Ujung Lero (Pinrang), dan Pulau Kapoposang/Pandangang (Pangkep).

Schlais (1981) dalam sebuah publikasi badan PBB, FAO, menyebut bahwa teknologi rumpon diduga pertama kali dikembangkan oleh nelayan Mandar. Informasi ini mendorong saya untuk memahami lebih lanjut meski pencarian informasi relatif susah sebab referensi mendalam mengenai kebudayaan bahari Mandar, khususnya rumpon, belum banyak. Di antara yang sedikit itu, adalah tesis karya Baharuddin Lopa berjudul Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan (Penerbit Alumni, Bandung, 1982).

Rujukan lebih lama ditulis Caron (1937), Gubernur Sulawesi pada zaman Belanda, yang menerjemahkan sebuah naskah lontara dari Soppengriaja. Ia menjelaskan bahwa rumpon adalah potongan-potongan bambu panjang yang ditanam di dasar laut dengan diikatkan daun-daun kelapa, yang berfungsi sebagai tempat persembunyian ikan. Nijhoff (1919) di dalam bukunya memberi penjelasan bahwa apa yang disebut rumpon adalah bedekken (menutupi) yang kemudian diartikan sebagai alat untuk menutupi sebatang pohon agar tidak dapat dipanjat; juga dapat diartikan sebagai menutupi suatu jalan agar tidak dapat dilalui orang (Kamus Mandar-Indonesia oleh Abdul Muthalib, 1977).

Dari dua pengertian tersebut, Lopa menyimpulkan bahwa rumpon dapat diartikan sebagai batas wilayah teritorial laut beberapa kerajaan di kawasan pesisir barat Pulau Sulawesi (atau pesisir utara Provinsi Sulawesi Barat sekarang ini), selain fungsi utamanya sebagai alat pengumpul ikan.

Lopa mengemukakan, awalnya rumpon adalah batas beberapa kerajaan di tanah Mandar yang terletak di laut. Alasan itu dapat dirujuk pada peristilahan roppo yang berarti “menutupi”. Kegiatan menutupi kulit suatu pohon produktif dengan bahan pelindung agar tidak dikuliti atau dimakan kambing disebut marroppo’i. Istilah juga berlaku jika memberi pagar atas suatu kebun.


Prosesi ritual pembuatan rumpon.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Istilah roppo jamak digunakan oleh nelayan Mandar di Majene sedang yang di Polman menggunakan istilah roppong. Dalam bahasa Mandar, arti lain dari roppong adalah sampah. Atas dasar itu, salah satu dugaan mengapa ada roppong (sebagai alat bantu penangkapan ikan) adalah mungkin dulunya nelayan Mandar mendapati ikan-ikan berkerumun di bawah roppong (sebagai sampah) yang terapung di lautan.

Menurut Munsi Lampe (1996), antropolog maritim Universitas Hasanuddin yang melakukan penelitian rumpon di Kassi, Bulukumba, rumpon awalnya dikembangkan oleh nelayan Mandar. Belakangan teknologi tersebut diadopsi oleh nelayan Bugis – Makassar. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Horst H. Liebner yang mempelajari teknik penangkapan ikan di rumpon oleh nelayan Mandar di Majene. Horst yakin bahwa nelayan Mandar-lah yang menyebarkan teknik rumpon ciptaannya tersebut ke berbagai tempat di nusantara.

Dalam dunia perikanan nusantara, sebagaimana yang dikemukakan Walujo Subani (1972) dalam buku Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia dan Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos di Indonesia dalam Jurnal Perikanan Laut No. 35 Tahun 1986, rumpon Mandar juga dikenal dengan nama rumpon laut dalam.

Disebut demikian karena rumpon milik nelayan Mandar hampir semuanya dipasang di laut dalam. Beda dengan nelayan lain di Indonesia, misalnya di pesisir Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, rumpon-rumponya berada di laut dangkal, yaitu kisaran 40-50 meter. Bandingkan dengan nelayan Mandar yang rumponnya berada di laut pada kisaran kedalaman 300 – 2.500 meter.

Lokasi geografis rumpon yang berada di kawasan berbahaya adalah salah satu alasan bahwa rumpon awalnya dikembangkan oleh nelayan Mandar. Pembuktian lain juga dapat didasarkan pada prilaku nelayan Mandar terhadap rumpon mereka, yaitu penggunaan ritual-mistik dan pranata hukum.

Hak ulayat
Dari beberapa bentuk hak ulayat laut yang dikenal di nusantara, aturan pemasangan dan pemanfaatan rumpon memiliki keunikan sebab lokasinya mencakup laut lepas. Dengan kata lain, tidak mengutamakan tanda-tanda di darat (landmark) sebagai alat penanda. Berbeda dengan bentuk hak ulayat laut di Maluku (sasi), Papua, dan Sulawesi Utara.

Rumpon pada dasarnya adalah sebuah benda atau teknologi, namun pada prakteknya berlaku aturan yang bersifat abstrak. Untuk itulah dikenal istilah hak ulayat rumpon. Sebagai salah satu bentuk pengelolaan wilayah laut yang prakteknya sudah berlangsung selama ratusan tahun, pengelolaan rumpon di Teluk Mandar atau Selat Makassar juga memiliki beberapa aturan tidak tertulis yang berlaku di kalangan nelayan Mandar, yang sampai sekarang tetap mereka hormati. Aturan-aturan tersebut menjadikan pengelolaan rumpon oleh nelayan sebagai salah satu bentuk hak ulayat laut yang perlu dilestarikan di Indonesia.

Variabel-variabel pokok di dalam hak ulayat laut adalah: wilayah; unit sosial pemilik hak; dan legalitas beserta pelaksanaannya. Sudirman Saad (2000) menyimpulkan bahwa hak ulayat (laut) paling sedikit memiliki 3 unsur pokok, yaitu: masyarakat hukum sebagai subyek hak ulayat; institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat; dan wilayah yang merupakan obyek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.


Upacara memasang rumpon di laut.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Merujuk pada pengertian hukum adat, maka dapat dikatakan bahwa klaim penguasaan perairan di sekitar rumpon termasuk hukum adat, karena merupakan hukum yang hidup sebagai peraturan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup.

Menurut penelitian Sudirman Saad di Kabupaten Bulukumba, aturan-aturan nelayan rumpon memenuhi aturan untuk dijadikan hukum adat atau hak ulayat, yaitu: parromppong memiliki hak menguasai untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar rumponnya, pengecualian terhadap monopoli ini ialah penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa pancing; klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan; dan terhadap rumpon yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan penangkapan ikan), pemilik rumpon masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada orang lain yang bermaksud memasang rumpon baru atau melakukan penangkapan ikan pada rumpon lama.

Adapun kewajiban para parromppong adalah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah klaimnya itu. Selain itu, ia juga berkewajiban memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan, apabila hanya menggunakan alat tangkap pancing.

Dari deskripsi mengenai klaim penguasaan perairan oleh nelayan parromppong tersebut di atas, klaim yang sama dapat juga berlaku untuk pemanfaatan rumpon oleh nelayan Mandar. Meski dari penelitian yang penulis lakukan aturan-aturan yang berlaku di Mandar lebih banyak dibanding yang ditemukan Saad di Bulukumba, namun pada dasarnya adalah sama.

Aturan parroppongang
Berikut adalah poin-poin “aturan" parroppongang yang dipraktekkan nelayan Mandar: jarak antarroppong adalah, ketika dilakukan operasi penangkapan secara bersamaan, keduanya tidak saling mengganggu; nelayan yang lebih dulu memasang roppong mempunyai hak-hak istimewa dalam menyelesaikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penempatan roppong; bila ada dua roppong saling kait (berhubungan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan), nelayan yang lebih dulu memasang berhak untuk memiliki roppong tersebut, jika yang berpindah adalah bagian-bagian roppong yang melayang/terapung di laut; jika yang berpindah adalah roppong secara keseluruhan, baik yang terapung maupun yang tenggelam, maka hak kepemilikan roppong yang mendekat diserahkan kepada nelayan yang roppongnya didekati; bila ada bagian roppong yang terlepas, maka bagian tersebut dinyatakan sebagai barang hanyut sehingga pihak yang menemukan berhak memilikinya; nelayan lain diijinkan untuk memanfaatkan roppong, baik untuk menambatkan perahu maupun untuk menangkap ikan yang ada di roppong selama tidak membahayakan roppong dan alat tangkap yang digunakan tidak berskala besar, seperti jala, gae kecuali mendapat izin dari pemilik roppong atau memberitahukan ketika selesai melakukan operasi penangkapan (memberi bagian hasil tangkapan).

Jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan, konvensi di antara para nelayan rumpon ini jelas lebih membumi. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon sebagai pengganti Keputusan Menteri Pertanian No.51 /Kpts/ IK.250/I/1997 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon, menghilangkan pembagian jenis-jenis rumpon (rumpon perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam).

Menurut ketentuan Kepmen Kelautan dan Perikanan itu, wilayah pemasangan dan pemanfaatan rumpon serta kewenangan pemberian izinnya adalah: perairan 2 mil laut sampai 4 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut terendah, pemberi izin adalah bupati/walikota, dengan masa berlaku izin 2 tahun; perairan di atas 4 mil laut sampai 12 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut terendah, pemberi izin adalah gubernur dengan masa berlaku izin 2 tahun; perairan diatas 12 mil laut dan ZEEI, pemberi izin adalah Ditjen Perikanan Tangkap dengan masa berlaku izin 2 tahun.

Dalam pemasangannya dipersyaratkan hal-hal sebagai berikut: tidak mengganggu alur pelayaran; jarak antarrumpon tidak kurang dari 10 mil laut; tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zig-zag). Pemasang rumpon juga dikenakan kewajiban untuk: memasang tanda pengenal (Pasal 11); membongkar dan mengangkat rumpon yang sudah tidak dimanfaatkan lagi atau telah habis masa izinnya (Pasal 7 ayat 2); dan menyampaikan laporan pemanfaatannya kepada pemberi izin setiap 6 bulan sekali (Pasal 15).

Dalam prosedur permohonan ijin disebutkan, harus dilakukan penilaian terhadap administrasi pemohon maupun lokasi perairan. Penilaian lokasi pemasangan rumpon harus memperhatikan: apakah daerah tersebut tidak merupakan alur pelayaran atau kepentingan lainnya seperti daerah suaka, atau daerah lainnya; apakah daerah tersebut tidak merupakan konsentrasi penangkapan ikan nelayan-nelayan yang tidak menggunakan rumpon; apakah daerah tersebut berbatasan dengan propinsi lain, untuk itu maka Dinas Perikanan dan Kelautan dari domisili pemohon ijin rumpon ditujukan kepada propinsi tersebut.

Terdapat perbedaan mencolok antara apa yang dikembangkan oleh nelayan, yang sudah berumur ratusan tahun, dengan apa yang ditetapkan pemerintah, yang hanya mengadopsi dari undang-undang tentang otonomi daerah.


Rumpon yang sudah siap beroperasi.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Mari kita lihat susahnya menjalani prosedur perijinan yang level paling kecil melibatkan bupati, lalu gubernur, untuk kemudian Ditjen Perikanan Tangkap.

Kesulitan pertama, tak jelas batas di laut: mana batas administrasi kabupaten, provinsi, dan laut nasional. Kedua, rencana pemasangan rumpon tidak terinci dalam segi koordinat. Kadang-kadang, faktor lingkungan laut dipengaruhi oleh “ilham” bahwa di sinilah tempat yang cocok. Ketiga, penentu utama lokasi pemasangan rumpon adalah nelayan lapangan, bukan si pemilik rumpon (pemilik modal). Keempat, bagaimana prosedur perijinannya, bagaimana kalau lokasi tak sesuai?


Ide pemetaan rumpon
Lokasi rumpon nelayan Mandar banyak terdapat di Teluk Mandar, Selat Makassar, Laut Flores, Teluk Bone, dan Laut Banda namun tidak semuanya dimiliki oleh nelayan Mandar. Ada yang menggunakan sistem bagi hasil dengan juragan dari daerah lain, misalnya pengusaha ikan di Bone atau Kajang.

Yang menarik adalah rumpon-rumpon milik orang Mandar yang berada di kabupaten atau provinsi lain, terkait dengan implikasi kebijakan otonomi daerah. Lokasi rumpon sebagian besar terletak di luar batas tiga-perempat mil dari 12 mil laut wilayah propinsi, dan atau di luar wilayah kabupaten tempat nelayan rumpon bermukim.

Paling tidak ada tiga kategori nelayan rumpon bila berdasarkan atas batas-batas kewenangan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota (Pasal 3 UU No. 22/1999) dengan asal nelayan: nelayan yang memiliki wilayah rumpon di wilayah laut kabupaten yang dia tempati; nelayan yang memiliki wilayah rumpon di bagian perairan yang merupakan batas antar dua kewenangan laut, yaitu di perbatasan dengan kabupaten lain dan di perbatasan dengan batas kewenangan laut propinsi; nelayan yang memiliki wilayah rumpon di luar batas kewenangan kabupaten yang dia tempati, yaitu di wilayah kewenangan kabupaten lain dan di wilayah laut kewenangan propinsi atau nasional.

Contoh untuk ketiga kategori di atas: nelayan Majene yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Majene, nelayan Polewali Mandar yang memiliki rumpon di perbatasan Kabupaten Polewali Mandar dengan Kabupaten Majene; nelayan Polewali Mandar yang memiliki rumpon di perbatasan Kabupaten Polewali Mandar (Sulawesi Barat) dengan perairan Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan); nelayan Polewali Mandar yang memasang rumpon di perairan Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan).

Permasalahan tidak akan kompleks bila di kalangan nelayan sudah ada saling pengertian. Biasanya pengertian didasarkan pada tradisi pengelolaan turun-temurun. Sepengetahuan saya, tidak ada kasus besar yang muncul dikarenakan ada perebutan wilayah pemasangan rumpon nelayan kabupaten antarprovinsi. Salah satu alasannya, karena mereka sudah menjalankan tradisi pemanfaatan rumpon selama ratusan tahun; ada aturan tidak tertulis yang sama-sama mereka hormati.

Selain itu, misalnya pemasang dan pengguna rumpon di perairan Pinrang dan Pangkep, umumnya adalah keluarga sendiri, yaitu orang-orang Mandar perantauan di Ujung Lero. Di sini faktor kesamaan budaya berperan nyata.

Walau tidak ada usaha perebutan wilayah rumpon antarsesama nelayan, usaha pencegahannya harus tetap dilakukan sekaligus sebagai bentuk pengakuan wilayah rumpon sebagai salah satu bentuk hak ulayat yang harus dihormati. Pertimbangan lain, konflik kepentingan di lokasi rumpon bukan hanya sebatas antarnelayan rumpon, sektor lain pun dapat menimbulkan konflik kepentingan di laut, seperti transportasi laut dan pertambangan.

Lokasi rumpon secara hukum formal diakui, sebab itu merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Tapi bila melihat teknologi penangkapan yang digunakan, dalam hal ini gae (pukat cincin atau purse seine), sifat tradisional tersebut akan tertutupi apalagi bila memasukan tonase perahu sebagai pertimbangan nelayan tradisional atau bukan.

Untuk membantu memperkuat kekuatan hukum lokasi-lokasi rumpon yang sudah mentradisi menjadi kekuatan hukum yang luas jangkauannya, baik antarsesama nelayan rumpon dari kabupaten/provinsi yang sama, dengan nelayan luar, atau dengan sektor lain di luar usaha perikanan, maka kegiatan pemetaan lokasi-lokasi rumpon secara spesifik perlu untuk dilakukan.

Langkah awal yang penting dilakukan adalah pemetaan lokasi-lokasi rumpon khususnya di Teluk Mandar dan Selat Makassar. Ini untuk mengetahui koordinat yang spesifik dijadikan lokasi pemasangan rumpon. Hasil pemetaan dapat diperluas lagi manfaatnya, misalnya aplikasi bersama penginderaan jauh, untuk menghindari konflik, dan dalam bentuk lain, misalnya wisata bahari.

Kegiatan pemetaan tersebut akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama. Tetapi bila kita berpikir ke depan, usaha tersebut mendesak untuk segera dilakukan. Jika hanya menyelesaian konflik berupa ganti rugi kepada nelayan, bisa dipastikan konflik ke depan akan terus terjadi dan biayanya pun pasti lebih besar.

Coba kita bandingkan, biaya ganti rugi untuk satu rumpon yang rusak berkisar Rp4 hingga Rp15 juta. Bila ada 20 rumpon yang rusak, maka uang yang harus dikeluarkan mencapai ratusan juta, jauh lebih tinggi daripada biaya riset/pemetaan.

Harapan idealnya, misalnya jika ada kapal eksplorasi yang ingin mencari minyak di laut, terlebih dahulu mereka harus mempelajari lokasi yang akan dituju, apakah ada rumpon atau tidak. Jika ya, asal nelayan dan pemiliknya dari mana? Jika terpaksa dilakukan pemutusan, sebelumnya mereka harus bicara baik-baik. Dan bila nelayan akan dirugikan, maka yang datang belakang sebagai pemanfaat harus memberi ganti rugi.

Harapan ini akan terwujud bila ada database yang lengkap mengenai rincian lokasi rumpon, siapa pemiliknya, berapa biaya pembuatannya, berapa efek kerugian jika rumpon diputus, dan lain sebagainya...


lingkargenerasi.blogspot.com

Jumat, 04 Maret 2011

SOEMPAH PEMOEDA

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.
Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :
  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel
Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.
  1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
    di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
    Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
    Kong Liong.
  2. 2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
    Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
    yaitu :
    a. Kwee Thiam Hong
    b. Oey Kay Siang
    c. John Lauw Tjoan Hok
    d. Tjio Djien kwi
by Arsip.

PEMUDA DALAM PERJUANGAN

Pemuda.!!!
Pemuda adalah suatu umur yang memiliki kehebatan sendiri,menurut DR.Yusuf Qardhawi ibarat matahari maka usia muda ibarat jam 12 ketika matahari bersinar paling terang dan paling panas.Pemuda mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik dan semangat bila dibanding dengan anak kecil atau orang-orang jompo.Pemuda mempunyai potensi yang luar biasa,bisa dikatakan seperti dinamit atau TNT bila diledakan.Subhanallah.
Sejarah pun juga membuktikan bahwa pemuda berperan penting dalam kemerdekaan.Dimana saja,di negara mana saja kemerdekaan tak pernah luput dari peran pemuda.Karena pemudalah yang paling bersemangat dan ambisius memperjuangkan perubahan menuju lebih baik.Hasan Al Banna seorang tokoh pergerakan di Mesir pernah berkata,"Di setiap kebangkitan pemudalah pilarnya, di setiap pemikiran pemudalah pengibar panji-panjinya."Begitu juga dalam sejarah Islam,banyak pemuda yang mendampingi Rasulullah dalam berjuangan sperti Mushaib bin Umair ,Ali bin Abi tholib,Aisyah dll.Waktu itu banyak yang masih berusia 8,10 atau 12 tahun.Dan usia-usia itu tidak dapat diremehkan.Mereka punya peran penting dalam perjuangan.Maka dari itu jika ingin Indonesia menjadi lebih baik maka perbaikan itu yang utama ada di tangan pemuda,Perbaikan itu akan tegak dari tangan pemuda dan dari pemuda.
Pemuda mempunyai banyak potensi.Akan tetapi jika tidak dilakukan pembinaan yang terjadi adalah sebaliknya.Potensinya tak tergali,semangatnya melemah atau yang lebih buruk lagi ia menggunakan potensinya untuk hal-hal yang tidak baik misalnya tawuran dsb.
Sekali lagi ,pemuda adalah usia dan sosok yang hebat tapi tidak semua pemuda hebat . Pemuda yang hebat adalah pemuda yang B A B.:Apa itu B A B?

B.BERANI BERMIMPI DAN BERNIAT
Mana mungkin kita sebagai pemuda bisa maju jika bermimpi saja tidak berani.Impian adalah cita-cita maka beranilah bermimipi,bagaimana bisa dapat nilai sembilan dalam ujian praktek ,bila bermimipi angka sembilan ada di raport saja tidak berani, bagaimana bisa dapat nilai sembilan jika mimpinya (cita-citanya) hanya dapat 6.Kalau ingin dapat nilai sembilan maka impikanlah nilai sepuluh.Saya pasti bisa dapat 10.impikan saja,bayangkan saja 10 jangan 9,8 apalagi 5.Impian akan menimbulkan niat ,niat akan menimbulkan sikap,sikap akan menimbulkan usaha untuk mewujudkan cita-cita .Dan impian juga akan menimbulkan semangat ,semangat ibarat api yang akan memicu ledakan potensi yang luar biasa.Maka marilah kita miliki impian,obsesi dan ambisi istilah kerennya POENYA TASTE hehe sperti iklan aja.
Niat .Niat saja tidak berani bagamana bisa berbuat.Niat saja mulai sekarang ,tapi yang baik-baik.Sabda Nabi,"segala sesuatu itu tergantung niatnya.Pemuda harus punya niat. Niat menumbuhkan kesungguhan dalam beramal,keseriusan dalam berfikir serta keteguhan dalam menghadapi penghalang. Niat yang sempurna adalah niat karena Allah dengan landasan iman. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist dari Umar bin Khatab bahwa barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya,barang siapa berhijrah untuk dunia yang ia cari atau wanita yang akan dinikahi maka hijrahnya untuk yang ia niatkan. Dengan niat karena Allah kita akan mendapat ridho-Nya Insya Allah.

A.ANDALKAN DIRI SENDIRI
Pemuda yang hebat bukan pemuda yang berkata,"Ayah ku polisi lho,jangan macam-macam sama aku" atau "ayahku kaya ,aku minta apa-apa pasti dituruti." Bukan seperti itu, tapi pemuda yang hebat dan berjiwa besar adalah pemuda yang berkata,"inilah diri" atau " menjadi diriku dengan segala kekurangan" kayak nasyidnya es coustic.Pemuda yang hebat adalah pemuda yang tidak menyombongkan prestasi ayahnya,pamannya,ibunya atau lain-lain. Mereka sadar,andaikata ayah mereka polisi mereka sadar yang polisi kan ayah bukan saya,klo ayah mereka pejabat yang berprestasi mereka sadar itu prestasi ayah buka saya,saya harus ciptakan prestasi sendiri.
Jadilah mereka pemuda yang mandiri, dengan kemandirian itu ia terpacu untuk tidak menggantungkan diri pada siapa pun kecuali Allah ,ia menjadi yang tangguh,ia berusaha memacu dirinya menjadi lebih baik dari hari ke hari sampai akhirnya ia bisa merubah lingkungannya. Ia menjadi pemuda yang percaya diri.

B.BERANI BERBUAT
Jika sudah punya mimpi dan percaya akan kemampuan sendiri maka yang berikutnya ialah siap action.Yup berbuat,berani untuk melakukan aksi-aksi perubahan.
Merubah diri sendiri dengan mengendalikan hawa nafsu,mencari ilmu, memperbaiki ibadah.Berani mencoba untuk sebuah kemenangan tanpa takut gagal.Ingatlah bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.Thomas alfa Edison berhasil menemukan bola lampu pada percobaan ke 14.000, berarti dia telah gagal dalam 13.999 percobaan,tapi dia tidak menyerah.Berani mencoba, bagaimana mungkin akan menang lomba lari jika mencoba mendaftar lomba saja tidak berani. Berani memulai. Memulai adalah hal yang sulit kata sebagian orang , setelah itu akan berjalan lancar.Maka kita harus berani memulai,walaupun sulit coba dulu,Insya Allah berikutnya berhasil.Mulai dari yang kecil ,ingin membersihkan Yogya dari sampah? mulailah dengan kita membuang sampah pada tempatnya.Tidak perlu ditunda-tunda mulai dari sekarang, tidak perlu menunggu orang lain mulai dari diri sendiri saja.
Berani beraksi adalah wujud konsisten kita pada apa yang kita yakini,kita impikan.Kita memimpikan Indonesia menjadi lebih baik maka berani beraksi untuk perbaikan tersebut sesuai dengan kreativitas kita adalah hal yang hebat. Dari yang kecil tidak masalah. Yang penting kita berani.Tatap dunia , hadapi, jangan bersembunyai, jangan hanya bicara tapi berbuat,beramal.Kita tunjukan bahwa kita pemuda , kita tidak diam tapi bergerak menuju perbaikan yang lebih baik.Bahwa kita tidak duduk, tapi kita berjuang.Talk less to do more.
Sahabat-sahabat kita adalah pemuda,masa depan negeri ada ditangan kita,Perubahan ada di tangan kita mari kita mencari ilmu ,membina diri dengan sekolah yang tekun ,ikut mentoring untuk memperkokoh keyakinan,ikut kajian kemudian membina fisik agar sehat dan kuat.Agar kita bisa mengelola dan merubah masa depan.

Rabu, 02 Maret 2011

Lingkar Generasi..

oleh Hadi Noer pada 29 September 2010

 
Generasi Muda..??
Menyoaal Generasi muda; kita akan diarahkan pada satu peradaban yang berbeda. Terlepas dari sekedar eksistensi generasi muda dalam merubah dunia, pernyataan bahwa generasi muda adalah penerus bangsa seperti sering disuarakan para tokoh dalam suatu acara tertentu adalah pengakuan yang terus menerus menjadi pengakuan. Pertanyaan kemudian, apakah betul generasi muda penerus bangsa?
Kalau generasi muda sepakat dengan asumsi tersebut, maka pastilah keinginan mempertahankan kelangsungan hidup induvidu dan bangsa akan terus dipertahankan. Tapi, kenyataannya, yang disebut generasi muda itu tidaklah tunggal dan statis. Aspirasi dan keinginan mereka bisa saja berkembang seiring perjalanannya.
Dalam kaitan itu, sebagian generasi muda merasa hidup berbangsa dalam payung negara Indonesia ternyata bukan buat mereka. Negara ternyata hanya melayani sebagian anak bangsa, tapi bukan mereka. Generasi muda yang merasa seperti ini bisa jadi akan memilih sikap bahwa bangsa dan negara Indonesia ini tak layak dipertahankan. Mereka merasa lebih baik membuat atau membangun bangsa dan negara sendiri.
Sikap lebih lunak dari itu adalah melakukan tindak kriminal, mengganggu keamanan dan ketenangan masyarakat atau bahkan menjadi teroris.
Karena itu, pernyataan di atas sekadar retoris sifatnya bahkan omong-kosong jika tidak diikuti oleh perbuatan yang mengarah pada pengembangan hidup berbangsa dan bernegara yang berkeadilan. Pernyataan itu bisa jatuh sekadar menjadi ideologi untuk menutupi realitas ketidak-adilan yang terjadi dalam hidup berbangsa.
Pesan buat mereka yang suka mengumbar pernyataan-pernyataan semacam itu, baiklah kiranya jika perhatian dan kerja diarahkan pada pengembangan hidup bersama yang berkeadilan dan jauh dari diskriminasi. Mengulang-ulang sesuatu yang kosong bukan tidak mungkin malah memunculkan sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya rasa muak pada generasi muda melihat perilaku elite dan tokoh politik yang cuma bisa memprovokasi dan menghasut – tapi tidak melakukan sesuatu yang nyata.
Terlepas dari itu, generasi muda harus tampil. Karena diakui atau tidak, masa depan bangsa terletak dalam pelukan generasi muda, generasi muda tidak boleh patah arang, generasi muda harus mengasah kemampuan dan meningkatkan kualitas. Untukmu generasi muda “rubahlah dunia, jangan kamu mau dirubah dunia..!!!”
Dan mereka yang hanya bisa mengumbar nafsu terhadap pemuda “diam adalah emas” tokoh dan elite politik sebaiknya diam saja, tidak usah mengumbar rasa kebangsaan atau nasionalisme kalau ketimpangan dan ketidak-adilan sosial-ekonomi belum bisa dipecahkan..!!?
 


 

Lingkar Generasi..



Lagi-lagi menyoal generasi muda ; urbanisasi dan medernisasi mengantar pemuda lebih peduli terhadap keteraturan abad peradaban yang berkembang saat ini. Mencoba mengikuti arus dengan "telanjang" dengan dalih mengejar pengakuan akan eksistensi tingkat intelektual yang sebenarnya memiliki esensi yang samar. Sejarah memang mencatat generasi muda punya andil besar dalam perjalanan bangsa Indonesia tapi terpaku akan proklamasi kemerdekaan lalu terbuai akan doktrin bahwa negara kita telah merdeka yang kemudian menggadai harga diri dan kesopanan adalah keliru..!! Tapi apa lacur, di negara Indonesia yang sudah merdeka ternyata masih belum merdeka. Lucunya lagi, tanpa kita sadar yang terjadi adalah hampir sebagian besar dari kita adalah "penjajah" ini terlihat dari sikap kita yang apatis, sering menutup mata, telinga, dan mulut akan hal-hal yang seharusnya kita peduli. Fenomena seperti ini jika dibiarkan terus menerus akan menggeser nilai yang malah berdampak pada ketidak jelasan identitas. Ehm.. Lucukan? Menganggap diri merdeka dan moderen malah kehilangan identitas..


hadi Noer

Selasa, 01 Maret 2011

kesusastraan mandar


KESUSASTRAAN MANDAR
Munculnya sastra mandar bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan dan peradaban dikalangan suku mandar.Sejak dahulu suku mandar telah menggunakan sastra-sastranya sebagai salah satu pelengkap adat mereka.Baik dari segi pendidikan,perkawinan,agama,maupun hiburan.Namun awalnya mereka tidak sadar akan hal tersebut,seiring mengalirnya dan terus berkembangnya sastra-sastra mandar tersebut,kemudian dilakukan semacam penelitian sastra dikalangan masyarakat mandar,barulah mereka mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka sebut-sebut sebagai bagian dari adat-istiadat suku mandar,ternyata adalah sebuah lantunan karya sastra.
Kalindaqdaq dari suku mandar ini merupakan salah satu jenis karya sastra mandar,yang merupakan lantunankata-kata yang indah.Kalindaqdaq juga sering digunakan oleh gadis-gadis dan diiringi dengan irama tabuhan rebana sambil berkeliling kampung,bersamaan dengan itu mereka juga saling berbalas-balas pantun.
Selain Kalindaqdaq dan pantun,music dan lagu (nyanyian)mandar pun termasuk salah satu jenis karya sastra.Musik dan lagu (nyanyian) digolongkan kedalam sastra mandar karena lantunan kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah lirik lagu yang tingkat kesusastraannya lebih tinggi karena telah mewakili semua aspek.
JENIS-JENIS SASTRA MANDAR
A.KALINDAQDAQ

1.Pengertian Kalindaqdaq
Istilah kalindaqdaq berasal dari bahasa melayu yang terdiri dari atas tiga patah kata,yaitu kalimat indah-indah disingkat menjadi Kalindaqdaq (kal=kalimat,ndaq=indah,daq=indah).Jadi,yang dimaksud Kalindaqdaq adalah pernyataan pikiran dan perasaan dalam untaian kata yang indah.Dengan kata lain,Kalindaqdaq merupakan tuturan kata yang indah dan berirama yang dapat mempesona pendengar atau pembacanya.
Ciri Kalindaqdaq seperti umumnya puisi,adalah keterbatasan atau keterikatan bentuknya.Kalindaqdaq diikat oleh syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, yaitu jumlah larik dalam setiap larik, dan irama yang tetap.Bentuk sastra ini bersampiran dan berisi.Kalindaqdaq juga terdiri atas 8-8-4-8 suku kata dalam selarik didalam sebait yang terdiri atas larik.Selain keindahan struktur,makna yang disampaikan juga bermacam,ada yang religious,social kemasyarakatan,cinta,adat istiadat terutama dalam ritual perkawinan.
Menurut Yasil,Kalindaqdaq mempunyai cirri-ciri,yaitu :
a.Tiap bait terdiri atas empat larik
b.Larik pertama terdiri atas delapan suku kata
c.Larik kedua terdiri atas tujuh suku kata
d.Larik ketiga terdiri atas lima suku kata
e.Larik keempat terdiri atas tujuh suku kata
f.Merupakan puisi suku kata
g.Persajakan kalindaqdaq umumnya bebas meski ada juga yang bersajak akhir a-a-a-a,a-b-b-a,atau a-a-b-b.
2.Jenis-jenis kalindaqdaq
A.Kalindaqdaq Tomabubeng (puisi orang tua)
Kalindaqdaq Tomabubeng adalah kalindaqdaq yang digunakan di lingkungan orang tua.Isi kalindaqdaq tomabubeng berupa nasehat atau pendidikan.Biasanya juga digunakan para orang tua pada waktu meminang atau menerima pinangan.
Contoh kalindaqdaq tomabubeng ;
Aroangi paqmaiq Kiranya anda kasihan
Anaq to kasia asi Kepada anak-anak miskin
Andiang tuqu Hanya kepada andalah harapan mereka
Muaq tama iqo Kepada yang lain tiada

B.Kalindaqdaq Tomanetuo (puisi kaum muda)
Kalindaqdaq tomanetuo adalah kalindaqdaq yang digunakan dalam lingkungan anak muda atau kaum remaja.Kalindaqdaq tomanetuo itu melukiskan keinginan hati seorang pemuda yang ingin berkenalan dengan seorang gadis yang ia senangi.Perasaan rindu terhadap sang kekasih dan kekecewaan yang timbul karena cintanya tak terbalaskan.
Contoh kalindaqdaq tomanetuo,yakni :
Surau diburaq lembong Hasrat cintaku pada bing gelombang
Tasimbaq dikuppungmu Terhempas ke kampung adik
Iqdaq tuali Pantang aku kembali
Muaq iqdaq dottong Sebelum hasrat cintaku tercapai
C.Kalindaqdaq Naebaine (puisi anak gadis)
Kalindaqdaq ini biasanya diperuntukkan kepada kaum gadis.Biasanya diucapkan pada waktu ia mengenang nasib yang menimpa dirinya.Hatinya sedih dan pilu karena cita-citanya tidak tercapai.Perasaan rindu pada kekasih dan lain-lainnya.
Contoh kalindaqdaq naebaine,yaitu :
Muaq diangmating bau Bila ada ikan datang
Direqde na lopimmu Pada sisi perahu anda
Damoq puttuleqi Tak sudah anda bertanya
Saliliq umo tuqu Itulah tanda kerinduanku
D.Kalindaqdaq Nanaqke (puisi anak-anak)
Yang dimaksud kalindaqdaq nanaqke adalah kalindaqdaq yang didendangkan dalam lingkungan anak-anak.Kalindaqdaq ini ada yang menggambarkan kemurungan dan kesedihan hati seorang anak.Ada pula yang menggambarkan perasaan gembira seorang anak serta ada pula yang dinyatakan dengan cara sindiran.
Contoh kalindaqdaq anak-anak :
Mi lembang-lembang tama Berjalan-jalan ia melalui telaga
I mangaji sappolong Si pengaji cuma separuh
Siruppaq dami Bertemulah ia dengan
Beke mate titers Kambing yang mati terberak-berak
3.Fungsi Kalindaqdaq
Kalindaqdaq berfungsi sebagai :
a.Hiburan
b.Nasehat
c.Ajang untuk mendidik
d.Penyambutan Pinangan (adat perkawinan)
B.MUSIK DAN LAGU (Nyanyian)
Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut.Deburan ombak,riak gelombang yang dinamis,hempasan ombak dipantai,dan geliat ombak gelombang yang dihembus lembut oleh angina tau badai bias dirasakan pada melodi laut didalam lagu-lagu mandar yang cenderung eksotik,romantic,dan sentimental.Lagu-lagu mandar juga sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu bugis meski tak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan.
Fungsi musik dan lagu (nyanyian)
a)Hiburan
b)Media untuk mengungkapkan perasaan
c)Media untuk menggambarkan suasana alam
C.PANTUN
Pantun dalam sastra mandar tidak ada bedanya dengan pantun-pantun pada umumnya..Bersajak a-a-a-a, a-b-b-a, a-a-b-b, dan a-b-a-b.Jumlah barisnya terdiri atas eemppat baris dan dua baris.Pantun mandar ini beda-beda tipis dengan kalindaqdaq mandar.Salah satu bedanya,tidak semua kalindaqdaq memiliki aturan persajakan,dan kalindaqdaq pun dapat berupa nyanyian karena ia tidak mutlak sebagai sebuah nyanyian,puisi,ataupun pantun.
Contoh pantun mandar :
Timanaq pakurru-kurruq
Padiriwammu daiq
To pura sola
Dipannanawa-nawanna
Artinya :
Timanglah daku penuh kasih
Letakkan pada pangkuan
Orang yang telah bersalah
Hati dan pikirannya


makassar...

Senin, 28 Februari 2011

I TUING-TUING

I Tui-Tuing adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. I Tui-Tuing dalam bahasa Mandar terdiri dari dua kata, yaitu i yang berarti si (dia lelaki ataupun perempuan), dan tui-tuing yang berarti ikan terbang. Jadi, I Tui-Tuing berarti si laki-laki ikan terbang atau manusia ikan. 


 Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, ada sepasang suami-istri miskin yang senantiasa hidup rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan mereka belum terasa lengkap, karena belum memiliki anak. Untuk itu, hampir setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikarunai seorang anak.

“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karuniakanlah kepada kami seorang anak laki-laki, walaupun bentuknya menyerupai tui-tuing!” doa sepasang suami-istri itu.

Sebulan kemudian, sang Istri ternyata hamil. Alangkah bahagianya sang Suami saat mengetahui hal itu. Tidak lama lagi mereka akan memiliki seorang anak yang akan menjadi penghibur di saat-saat mereka sedang kesepian. Sejak mendengar kabar gembira itu, sang Suami pun semakin rajin melakukan pekerjaan sehari-harinya, yakni motangnga[1] di sekitar Teluk Mandar untuk dijual. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli segala keperluan bayinya. Setiap malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar kelak istrinya melahirkan dengan selamat. Demikian pula sang Istri, ia senantiasa menjaga dan merawat bayi di dalam kandungannya agar tetap dalam keadaan sehat.

Tidak terasa, usia kandungan sang Istri sudah menginjak tujuh bulan lebih. Seperti halnya masyarakat Mandar lainnya, mereka pun mengadakan acara tujuh bulanan yang disebut dengan niuri[2] secara sederhana. Mereka pun menyiapkan beberapa jenis kue yang bentuknya bulat, seperti onde-onde, gogos, dan semacamnya, dengan harapan kelak sang Istri melahirkan anak laki-laki. Berbeda halnya jika mereka mengharapkan anak perempuan, mereka harus menyiapkan kue-kue yang berbentuk gepeng, seperti pupu, lapisi, katiri mandi, dan semacamnya.

Setelah acara nipande mangidang (makan kue bersama), mereka kemudian melantunkan lagu-lagu Mandar yang berisi doa, seperti berikut:
Alai sipa`uwaimmu
Pidei sipa` apimmu
Tallammo`o liwang
Muammung pura beremu

Artinya :

Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu

Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene`mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu.

Artinya :

Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir
Murahlah rezekimu dan dingin seperti air

Ketika memasuki awal bulan kesepuluh, sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki sebagaimana yang mereka harapkan. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir menyerupai tui-tuing. Seluruh wajah dan tubuhnya diselimuti oleh sisik ikan terbang. Oleh karenanya, ia diberi nama I Tui-Tuing, yang berarti si Ikan Terbang.

Pada mulanya, kedua orangtua sang Bayi tidak percaya dan enggan menerima kenyataan itu. Dalam hati mereka berkata “tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor ikan”. Namun, setelah menyadari bahwa keberadaan bayi yang bersisik ikan itu adalah pemintaan mereka sendiri, akhirnya mereka pun menerima kenyataan tersebut. Mereka menjaga dan merawat I Tui-Tuing dengan penuh kasih sayang.

Waktu terus berjalan. Beberapa tahun kemudian, I Tui-Tuing pun tumbuh dewasa. Ia sering ikut bersama ayahnya motangnga di sekitar Teluk Mandar. Ia juga rajin membantu ibunya memasak di dapur sepulangnya dari motangnga. Tidak heran jika kedua orang tuanya semakin sayang kepadanya. Apa pun permintaannya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya.

Pada suatu hari, I Tui-Tuing memohon kepada kedua orangtuanya, agar mencarikannya seorang pendamping hidup. Baginya, tidak perlu cantik, asalkan gadis itu bersedia menikah dan hidup bersamanya. Permintaan I Tui-Tuing itu sangatlah berat bagi kedua orangtuanya. Mereka merasa tidak mungkin ada orang yang sudi menerima lamarannya, karena kondisi anaknya yang cacat. Tapi, karena saking sayangnya kepada I Tui-Tuing, mereka pun mencoba untuk melamar beberapa gadis yang ada di kampung itu. Setelah menaiki beberapa rumah (rumah panggung), bukannya penghargaan ataupun penyambutan yang mereka terima, melainkan penghinaan. Di antara para gadis tersebut ada yang menghinanya dengan mengatakan:

“Siapa yang sudi menikah dengan anak kalian yang menyerupai ikan tui-tuing itu!”

Dengan perasaan sedih, kedua orangtua itu pulang ke rumahnya. Mereka pun menyampaikan berita buruk itu kepada I Tui-Tuing.

“Apakah Ayah dan Ibu sudah melamar semua gadis di kampung ini?” tanya I Tui-Tuing ingin tahu.

“Belum, Anakku! Masih ada satu rumah yang belum kami datangi, yaitu rumah si Juragan Kaya di kampung ini,” jawab ayahnya.

“Kenapa Ayah? Bukankah dia mempunyai enam orang gadis?” tanya I Tui-Tuing.

“Benar Anakku! Tapi, tidak mungkin kami berani melamar ke sana. Mereka adalah orang kaya raya, sementara kita orang miskin,” sahut ibunya.

“Tidak, Ibu! Sebaiknya Ayah dan Ibu mencoba dulu melamar anak juragan itu. Nanda yakin, pasti salah satu dari mereka ada yang sudi menikah denganku,” desak I Tui-Tuing.

Oleh karena didesak terus, akhirnya kedua orangtua I Tui-Tuing bersedia untuk pergi melamar salah seorang anak juragan kaya itu.

Sementara itu, di rumah sang Juragan, keenam putri juragan tampak rukun dan bahagia, kecuali satu orang yang bernama Siti Rukiah. Siti Rukiah adalah anak ketiga dan dialah yang paling cantik di antara saudari-saudarinya. Rupanya, hal itulah yang membuat saudari-saudarinya iri hati kepadanya. Oleh karenanya, kelima saudarinya tersebut membiarkan Siti Rukiah tinggal sendirian di kamar paling belakang dekat dapur. Bahkan, mereka membedakinya dengan arang, agar wajahnya yang cantik itu tidak terlihat oleh para pemuda yang datang ke rumah mereka.

Pada suatu hari, kedua orantua I Tui-Tuing memberanikan diri datang ke rumah sang Juragan untuk melamar salah seorang putrinya. Sesampainya di rumah itu, mereka pun disambut baik oleh sang Juragan.

“Maaf jika kedatangan kami mengganggu ketenangan keluarga Juragan!” kata Ayah Tui-Tuing.

“Tidak apa-apa, Pak! Kalau boleh tahu, ada apakah gerangan maksud kedatangan kalian kemari?” tanya sang Juragan.

“Maaf Juragan, jika kami terlalu lancang terhadap keluarga Juragan. Kami bermaksud untuk menyampaikan pinangan anak kami I Tui-Tuing kepada salah seorang putri Juragan,” ungkap Ayah Tui-Tuing.

“Oh begitu...! Baiklah, aku akan menanyakan hal ini kepada putri-putriku, siapa di antara mereka yang bersedia menikah dengan I Tui-Tuing,” jawab sang Juragan seraya mengumpulkan semua putrinya, kecuali Siti Rukiah yang tetap dikurung dalam kamar.

Setelah sang Juragan menanyai satu-satu persatu kelima putrinya, tak seorang pun di antara mereka yang suka kepada I Tui-Tuing. Malah justru mereka menghina kedua orangtua Tui-Tuing.

“Hei, orangtua! Kalian harus berkaca dulu. Kalian itu siapa dan hendak melamar siapa? Kalian itu orang miskin, sedangkan kami orang kaya,” hardik putri sulung sang Juragan.

“Lagipula siapa yang sudi menikah dengan putra kalian yang buruk rupa itu!” tambah putri juragan yang paling bungsu dengan menghardik pula.

Mendengar jawaban para putri juragan itu, kedua telinga orangtua Tui-Tuing bagaikan disambar petir. Dengan perasaan sedih dan kecewa, mereka pun berpamitan kepada sang Juragan untuk pulang ke rumahnya menyampaikan berita buruk itu kepada anaknya. Namun, ketika mereka akan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba terdengar suara dari ruang paling belakang.

“Jika tidak seorang pun saudariku yang sudi menikah dengan I Tui-Tuing, biarlah aku yang mendampingi hidupnya,” kata suara perempuan yang lembut itu.

Semua yang hadir di rumah itu tiba-tiba tersentak kaget. Sang Juragan pun segera beranjak dan berjalan menuju ke kamar paling belakang. Tidak berapa lama, ia pun kembali sambil menuntun putrinya.

“Maafkan kami, Pak! Aku lupa, ternyata aku masih mempunyai seorang putri lagi, namanya Siti Rukiah. Tapi lihatlah, wajahnya sangat buruk, karena setiap hari pakai bedak arang. Apakah kalian bersedia menerimanya?” sang Juragan balik menawarkan putrinya kepada kedua orangtua I Tui-Tuing.

“Dengan senang hati, Tuan! Wajah cantik tidaklah terlalu penting bagi anak kami. Tapi, yang penting putri Juragan bersedia untuk hidup bersama dengan anak kami,” jawab ibu I Tui-Tuing.

Mendengar jawaban itu, Siti Rukiah pun menyatakan kesungguhan hatinya untuk hidup bersama dengan I Tui-Tuing sepanjang hidupnya. Pernyataan Siti Rukiah itu pun disambut baik oleh kedua orangtua Tui-Tuing. Demikian pula kelima saudarinya. Mereka sangat senang, karena Siti Rukiah akhirnya akan menikah dengan orang yang buruk rupa. Dengan demikian, tentu para pemuda tampan di kampung itu akan melirik mereka.

Seminggu kemudian, pernikahan I Tui-Tuing dengan Siti Rukiah dilangsungkan secara sederhana. Acara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai. Sejak resmi menjadi suami-istri, mereka pun meminta kepada kedua orangtua mereka untuk hidup mandiri. Akhirnya, mereka pun dibuatkan sebuah rumah panggung yang cukup sederhana di atas tanah milik orang tua Siti Rukiah yang berada di kampung sebelah. Sejak itu, I Tui-Tuing bersama istri tercintanya tinggal di rumah itu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari I Tui-Tuing pergi metongnga di sekitar Teluk Mandar.

Pada suatu pagi, usai sarapan, I Tui-Tuing berpamitan kepada istrinya hendak pergi metongnga. Setelah suaminya berangkat, Siti Rukiah memasak nasi dan membersihkan rumah. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia pun membersihkan seluruh badannya, terutama wajahnya yang masih dipenuhi dengan bedak arang. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya. Siti Rukiah pun segera membuka pintu. Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki gagah dan tampan berdiri di hadapannya.

“Maaf Tuan, Anda siapa?” tanya Rukiah.

“Aku adalah I Tui-Tuing hendak mencari istriku yang bernama Siti Rukiah” jawab si lelaki gagah itu.

“Maaf, Tuan jangan mengaku-ngaku! Bukankah seluruh tubuh dan wajah I Tui-Tuing dipenuhi dengan sisik ikan?” tanya Rukiah dengan sanksi.

“Benar yang kamu katakan itu. Selama ini kulitku memang dipenuhi dengan sisik ikan, sehingga aku menyerupai ikan terbang. Itu semua terjadi karena permintaan kedua orangtuaku sebelum aku lahir. Tapi, kini aku sudah kembali normal seperti manusia lainnya, karena aku sudah beristri,” jelas lelaki tampan itu.

Pada mulanya, Siti Rukiah tidak percaya dengan penjelasan orang yang tidak dikenalnya itu. Tetapi, setelah mendengar suara dan mencium bau lelaki itu persis sama dengan suara dan bau Tui-Tuing, akhirnya ia pun percaya bahwa lekaki gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu adalah suaminya. Setelah yakin dengan hal itu, kini giliran Siti Rukiah memperkenalkan dirinya kepada suaminya.

“Bang! Aku ini istrimu, Siti Rukiah,” ungkap Siti Rukiah kepada suaminya.

“Bukankah istriku itu wajahnya hitam pekat?” I Tui-Tuing balik bertanya dengan sanksi.

“Benar, Bang! Wajahku menjadi hitam pekat, karena perbuatan saudari-saudariku. Mereka iri terhadap kecantikanku. Makanya, mereka membedakiku dengan arang, agar para pemuda tampan tidak tertarik melihat kecantikanku. Ketika Abang berangkat ke laut, aku membersihkan semua sisa-sisa arang yang masih menempel di wajahku. Kini, wajahku kembali bersih seperti semula,” jelas Siti Rukiah.

Awalnya, I Tui-Tuing tidak percaya dengan pernyataan perempua cantik itu. Namun, setelah mendengar suara dan mencium bau perempuan itu tidak ada bedanya dengan suara maupun bau Siti Rukiah, akhirnya I Tui-Tuing pun yakin bahwa perempuan cantik itu adalah istrinya. Setelah keduanya saling mengenal, mereka pun langsung berpelukan.

Keesokan harinya, mereka pergi mengunjungi orangtua mereka dengan wajah yang baru. I Tui-Tuing tidak lagi menyerupai ikan terbang, tapi sudah berwujud manusia. Begitupula Siti Rukiah, ia tampak jauh lebih cantik dan memesona, karena bedak arang yang menempel di wajahnya benar-benar sudah hilang. Kini wajahnya tampak bersinar dan pipinya terlihat kemerah-merahan bagaikan buah delima.

Pertama-tama mereka mengunjungi rumah orangtua I Tui-Tuing. Alangkah terkejutnya kedua orangtua I Tui-Tuing ketika mengetahui bahwa lelaki gagah dan tampan itu adalah anaknya, dan gadis cantik itu adalah menantunya. Demikian pula ketika mereka sampai di rumah orangtua Siti Rukiah. Keluarga Siti Rukiah seakan-akan tidak percaya pada kenyataan itu, terutama kelima saudarinya. Mereka pun sangat menyesal, karena dulu menolak pinangan I Tui-Tuing. Namun, semuanya hanya tinggal penyesalan. Entah sampai kapan kelima gadis itu terus menunggu jodoh mereka datang. Sementara, Siti Rukiah hidup rukun dan bahagia bersama suami tercintanya, I Tui-Tuing.



Demikian cerita I Tui-Tuing dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat iri dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kelima putri juragan terhadap kecantikan saudarinya yang bernama Siti Rukiah. Mereka memberinya bedak arang dan mengurungnya di kamar paling belakang, agar kecantikannya tidak dilihat oleh para pemuda tampan. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat iri dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah kepada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain, bahkan terhadap saudara sendiri.

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa orang-orang yang teraniaya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Mahakuasa. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Siti Rukiah. Walaupun kelima saudarinya selalu berusaha menghalang-halanginya agar tidak menikah dengan pemuda tampan, namun dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, Siti Rukiah menikah dengan pemuda gagah dan tampan, yakni I Tui-Tuing. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci..