Senin, 28 Februari 2011

IDENTITAS

Mungkin masih jelas dalam ingatan kita berbagai penomena yang terjadi dalam pentas demokrasi pemilihan gubernur pertama sulawesi barat dua tahun yang lalu, salah satu penomena yang mestinya tidak terjadi adalah dengan munculnya stigma atau sekat-sekat identitas bagi kandidat calon gubernur saat itu dengan identias to buttu (orang gunung) dengan orang pesisir atau stigma orang mandar asli dengan orang mandar ”tidak asli”.Pemunculan sekat identitas tersebut pastinya berpengaruh bagi terbukanya peluang kandidat tertentu walaupun pembangunan stigma tersebut tidak berhasil karena nyatanya seorang Anwar Adnan Shale terpiluh menjadi gubernur pertama sulbar walau sebelumnya dilekatkan stigma identitas ”to buttu” atau bukan mandar asli bagi beliau.Tulisan ini bukan ditujukan untuk mengungkit masa lalu apalagi sekarang yang semestinya dilakukan adalah menatap masa depan bersama, namun yang perlu diingat bahwa kejadian tersebut merupakan sebuah tragedi kecelakaan atau penodaaan nilai luhur yang terbangun dalam konsep mandar yang telah susah payah dibangun oleh leluhur kita.Mandar yang menurut sebagian pakar ditafsirkan saling memperkuat, seperti yang diungkapkan H. Mochtar Husein (1984) yang manyatakan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti salah satunya adalah Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan yang kemudian berubah seiring pengembangan menjadi Mandar. Penafsiran tersbut didasarkan pada adanya perjajian 14 kerajaan yakni pitu ulunna salu yang berada di dataran tinggi pegunungan dan pitu babana binanga yang berda diwilayah pesisir.Dari kenyataan diatas, lebih tepatnya memandang mandar sebagai sebuah konstruk politik dimana mandar merupakan persekutuan hidup 14 kerajaan yang memiliki multicultural (beragam) warna tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan. Keberagaman tersebut merupakan kekayaan dan menjadi modal perlawanan terhadap kondisi sosial pada saat itu yang menghadapi agresi militer dari kerajaan bone. Sipa Mandar merupakan konstruk politik merupakan penyatuan visi-misi, kesamaan nasib, kehendak bersatu, berada dalam daerah terotorial (tanah, air) yang sama, serta perangai (yang relative sama) oleh 14 kerajaan yang dikenal dengan pitu ulunna salu, pitu babana binanga. Dengan adanya pernyataan sipa mandar tersebut, segala perbedaan identitas menyatu dengan tetap menjaga kepentingan identitas masing-masing. Konsep sipa mandar jelas mengilhami konsep mulikulturalisme. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, 1997).Tetapi sayangnya dalam perjalanan hidup mandar, multikulturalisme sebagai suatu “datum” (suatu yang terberi) dan “factum” (sesuatu yang dibuat dan dihidupi) yang merupakan pondasi berdirinya mandar belum sepenuhnya menjadi wawasan dan kesadaran bersama, yang pada akhirnya berujung pada disintegrasi social. Keberagaman justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain akan tetapi upaya untuk ”mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam adalah bukti nyata hal di atas. Tak aneh, kalau kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan mandar yang multikultural.Hal senada telah diungkapkan Gus Dur bahwa harus ada usaha demokratisasi yang akan berujung pada desentralisasi pada seluruh ruang kehidupan kita, khususnya kebudayaan. Hal tersebut bisa diandaikan bahwa seluruh inisiatif rakyat harus tumbuh dengan segala keberagamannya, juga berarti bahwa dualitas (diversity) harus menjadi pedoman dalam mengambil kebijakan dan bertindak dalam masyarakat, bukan ajaran tunggal, kalau hal tersebut tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang miskin budaya.Dengan fenomena tersebut dikhawatirkan Sulawesi Barat seperti ramalan Gus Dur akan menjadi daerah yang termiskin kebudayaan di Indonesia dan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah sipamandar tidak akan di ilhami secara keseluruhan oleh generasi pewaris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar