Senin, 28 Februari 2011

I TUING-TUING

I Tui-Tuing adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. I Tui-Tuing dalam bahasa Mandar terdiri dari dua kata, yaitu i yang berarti si (dia lelaki ataupun perempuan), dan tui-tuing yang berarti ikan terbang. Jadi, I Tui-Tuing berarti si laki-laki ikan terbang atau manusia ikan. 


 Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, ada sepasang suami-istri miskin yang senantiasa hidup rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan mereka belum terasa lengkap, karena belum memiliki anak. Untuk itu, hampir setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikarunai seorang anak.

“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karuniakanlah kepada kami seorang anak laki-laki, walaupun bentuknya menyerupai tui-tuing!” doa sepasang suami-istri itu.

Sebulan kemudian, sang Istri ternyata hamil. Alangkah bahagianya sang Suami saat mengetahui hal itu. Tidak lama lagi mereka akan memiliki seorang anak yang akan menjadi penghibur di saat-saat mereka sedang kesepian. Sejak mendengar kabar gembira itu, sang Suami pun semakin rajin melakukan pekerjaan sehari-harinya, yakni motangnga[1] di sekitar Teluk Mandar untuk dijual. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli segala keperluan bayinya. Setiap malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar kelak istrinya melahirkan dengan selamat. Demikian pula sang Istri, ia senantiasa menjaga dan merawat bayi di dalam kandungannya agar tetap dalam keadaan sehat.

Tidak terasa, usia kandungan sang Istri sudah menginjak tujuh bulan lebih. Seperti halnya masyarakat Mandar lainnya, mereka pun mengadakan acara tujuh bulanan yang disebut dengan niuri[2] secara sederhana. Mereka pun menyiapkan beberapa jenis kue yang bentuknya bulat, seperti onde-onde, gogos, dan semacamnya, dengan harapan kelak sang Istri melahirkan anak laki-laki. Berbeda halnya jika mereka mengharapkan anak perempuan, mereka harus menyiapkan kue-kue yang berbentuk gepeng, seperti pupu, lapisi, katiri mandi, dan semacamnya.

Setelah acara nipande mangidang (makan kue bersama), mereka kemudian melantunkan lagu-lagu Mandar yang berisi doa, seperti berikut:
Alai sipa`uwaimmu
Pidei sipa` apimmu
Tallammo`o liwang
Muammung pura beremu

Artinya :

Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu

Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene`mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu.

Artinya :

Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir
Murahlah rezekimu dan dingin seperti air

Ketika memasuki awal bulan kesepuluh, sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki sebagaimana yang mereka harapkan. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir menyerupai tui-tuing. Seluruh wajah dan tubuhnya diselimuti oleh sisik ikan terbang. Oleh karenanya, ia diberi nama I Tui-Tuing, yang berarti si Ikan Terbang.

Pada mulanya, kedua orangtua sang Bayi tidak percaya dan enggan menerima kenyataan itu. Dalam hati mereka berkata “tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor ikan”. Namun, setelah menyadari bahwa keberadaan bayi yang bersisik ikan itu adalah pemintaan mereka sendiri, akhirnya mereka pun menerima kenyataan tersebut. Mereka menjaga dan merawat I Tui-Tuing dengan penuh kasih sayang.

Waktu terus berjalan. Beberapa tahun kemudian, I Tui-Tuing pun tumbuh dewasa. Ia sering ikut bersama ayahnya motangnga di sekitar Teluk Mandar. Ia juga rajin membantu ibunya memasak di dapur sepulangnya dari motangnga. Tidak heran jika kedua orang tuanya semakin sayang kepadanya. Apa pun permintaannya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya.

Pada suatu hari, I Tui-Tuing memohon kepada kedua orangtuanya, agar mencarikannya seorang pendamping hidup. Baginya, tidak perlu cantik, asalkan gadis itu bersedia menikah dan hidup bersamanya. Permintaan I Tui-Tuing itu sangatlah berat bagi kedua orangtuanya. Mereka merasa tidak mungkin ada orang yang sudi menerima lamarannya, karena kondisi anaknya yang cacat. Tapi, karena saking sayangnya kepada I Tui-Tuing, mereka pun mencoba untuk melamar beberapa gadis yang ada di kampung itu. Setelah menaiki beberapa rumah (rumah panggung), bukannya penghargaan ataupun penyambutan yang mereka terima, melainkan penghinaan. Di antara para gadis tersebut ada yang menghinanya dengan mengatakan:

“Siapa yang sudi menikah dengan anak kalian yang menyerupai ikan tui-tuing itu!”

Dengan perasaan sedih, kedua orangtua itu pulang ke rumahnya. Mereka pun menyampaikan berita buruk itu kepada I Tui-Tuing.

“Apakah Ayah dan Ibu sudah melamar semua gadis di kampung ini?” tanya I Tui-Tuing ingin tahu.

“Belum, Anakku! Masih ada satu rumah yang belum kami datangi, yaitu rumah si Juragan Kaya di kampung ini,” jawab ayahnya.

“Kenapa Ayah? Bukankah dia mempunyai enam orang gadis?” tanya I Tui-Tuing.

“Benar Anakku! Tapi, tidak mungkin kami berani melamar ke sana. Mereka adalah orang kaya raya, sementara kita orang miskin,” sahut ibunya.

“Tidak, Ibu! Sebaiknya Ayah dan Ibu mencoba dulu melamar anak juragan itu. Nanda yakin, pasti salah satu dari mereka ada yang sudi menikah denganku,” desak I Tui-Tuing.

Oleh karena didesak terus, akhirnya kedua orangtua I Tui-Tuing bersedia untuk pergi melamar salah seorang anak juragan kaya itu.

Sementara itu, di rumah sang Juragan, keenam putri juragan tampak rukun dan bahagia, kecuali satu orang yang bernama Siti Rukiah. Siti Rukiah adalah anak ketiga dan dialah yang paling cantik di antara saudari-saudarinya. Rupanya, hal itulah yang membuat saudari-saudarinya iri hati kepadanya. Oleh karenanya, kelima saudarinya tersebut membiarkan Siti Rukiah tinggal sendirian di kamar paling belakang dekat dapur. Bahkan, mereka membedakinya dengan arang, agar wajahnya yang cantik itu tidak terlihat oleh para pemuda yang datang ke rumah mereka.

Pada suatu hari, kedua orantua I Tui-Tuing memberanikan diri datang ke rumah sang Juragan untuk melamar salah seorang putrinya. Sesampainya di rumah itu, mereka pun disambut baik oleh sang Juragan.

“Maaf jika kedatangan kami mengganggu ketenangan keluarga Juragan!” kata Ayah Tui-Tuing.

“Tidak apa-apa, Pak! Kalau boleh tahu, ada apakah gerangan maksud kedatangan kalian kemari?” tanya sang Juragan.

“Maaf Juragan, jika kami terlalu lancang terhadap keluarga Juragan. Kami bermaksud untuk menyampaikan pinangan anak kami I Tui-Tuing kepada salah seorang putri Juragan,” ungkap Ayah Tui-Tuing.

“Oh begitu...! Baiklah, aku akan menanyakan hal ini kepada putri-putriku, siapa di antara mereka yang bersedia menikah dengan I Tui-Tuing,” jawab sang Juragan seraya mengumpulkan semua putrinya, kecuali Siti Rukiah yang tetap dikurung dalam kamar.

Setelah sang Juragan menanyai satu-satu persatu kelima putrinya, tak seorang pun di antara mereka yang suka kepada I Tui-Tuing. Malah justru mereka menghina kedua orangtua Tui-Tuing.

“Hei, orangtua! Kalian harus berkaca dulu. Kalian itu siapa dan hendak melamar siapa? Kalian itu orang miskin, sedangkan kami orang kaya,” hardik putri sulung sang Juragan.

“Lagipula siapa yang sudi menikah dengan putra kalian yang buruk rupa itu!” tambah putri juragan yang paling bungsu dengan menghardik pula.

Mendengar jawaban para putri juragan itu, kedua telinga orangtua Tui-Tuing bagaikan disambar petir. Dengan perasaan sedih dan kecewa, mereka pun berpamitan kepada sang Juragan untuk pulang ke rumahnya menyampaikan berita buruk itu kepada anaknya. Namun, ketika mereka akan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba terdengar suara dari ruang paling belakang.

“Jika tidak seorang pun saudariku yang sudi menikah dengan I Tui-Tuing, biarlah aku yang mendampingi hidupnya,” kata suara perempuan yang lembut itu.

Semua yang hadir di rumah itu tiba-tiba tersentak kaget. Sang Juragan pun segera beranjak dan berjalan menuju ke kamar paling belakang. Tidak berapa lama, ia pun kembali sambil menuntun putrinya.

“Maafkan kami, Pak! Aku lupa, ternyata aku masih mempunyai seorang putri lagi, namanya Siti Rukiah. Tapi lihatlah, wajahnya sangat buruk, karena setiap hari pakai bedak arang. Apakah kalian bersedia menerimanya?” sang Juragan balik menawarkan putrinya kepada kedua orangtua I Tui-Tuing.

“Dengan senang hati, Tuan! Wajah cantik tidaklah terlalu penting bagi anak kami. Tapi, yang penting putri Juragan bersedia untuk hidup bersama dengan anak kami,” jawab ibu I Tui-Tuing.

Mendengar jawaban itu, Siti Rukiah pun menyatakan kesungguhan hatinya untuk hidup bersama dengan I Tui-Tuing sepanjang hidupnya. Pernyataan Siti Rukiah itu pun disambut baik oleh kedua orangtua Tui-Tuing. Demikian pula kelima saudarinya. Mereka sangat senang, karena Siti Rukiah akhirnya akan menikah dengan orang yang buruk rupa. Dengan demikian, tentu para pemuda tampan di kampung itu akan melirik mereka.

Seminggu kemudian, pernikahan I Tui-Tuing dengan Siti Rukiah dilangsungkan secara sederhana. Acara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai. Sejak resmi menjadi suami-istri, mereka pun meminta kepada kedua orangtua mereka untuk hidup mandiri. Akhirnya, mereka pun dibuatkan sebuah rumah panggung yang cukup sederhana di atas tanah milik orang tua Siti Rukiah yang berada di kampung sebelah. Sejak itu, I Tui-Tuing bersama istri tercintanya tinggal di rumah itu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari I Tui-Tuing pergi metongnga di sekitar Teluk Mandar.

Pada suatu pagi, usai sarapan, I Tui-Tuing berpamitan kepada istrinya hendak pergi metongnga. Setelah suaminya berangkat, Siti Rukiah memasak nasi dan membersihkan rumah. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia pun membersihkan seluruh badannya, terutama wajahnya yang masih dipenuhi dengan bedak arang. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya. Siti Rukiah pun segera membuka pintu. Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki gagah dan tampan berdiri di hadapannya.

“Maaf Tuan, Anda siapa?” tanya Rukiah.

“Aku adalah I Tui-Tuing hendak mencari istriku yang bernama Siti Rukiah” jawab si lelaki gagah itu.

“Maaf, Tuan jangan mengaku-ngaku! Bukankah seluruh tubuh dan wajah I Tui-Tuing dipenuhi dengan sisik ikan?” tanya Rukiah dengan sanksi.

“Benar yang kamu katakan itu. Selama ini kulitku memang dipenuhi dengan sisik ikan, sehingga aku menyerupai ikan terbang. Itu semua terjadi karena permintaan kedua orangtuaku sebelum aku lahir. Tapi, kini aku sudah kembali normal seperti manusia lainnya, karena aku sudah beristri,” jelas lelaki tampan itu.

Pada mulanya, Siti Rukiah tidak percaya dengan penjelasan orang yang tidak dikenalnya itu. Tetapi, setelah mendengar suara dan mencium bau lelaki itu persis sama dengan suara dan bau Tui-Tuing, akhirnya ia pun percaya bahwa lekaki gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu adalah suaminya. Setelah yakin dengan hal itu, kini giliran Siti Rukiah memperkenalkan dirinya kepada suaminya.

“Bang! Aku ini istrimu, Siti Rukiah,” ungkap Siti Rukiah kepada suaminya.

“Bukankah istriku itu wajahnya hitam pekat?” I Tui-Tuing balik bertanya dengan sanksi.

“Benar, Bang! Wajahku menjadi hitam pekat, karena perbuatan saudari-saudariku. Mereka iri terhadap kecantikanku. Makanya, mereka membedakiku dengan arang, agar para pemuda tampan tidak tertarik melihat kecantikanku. Ketika Abang berangkat ke laut, aku membersihkan semua sisa-sisa arang yang masih menempel di wajahku. Kini, wajahku kembali bersih seperti semula,” jelas Siti Rukiah.

Awalnya, I Tui-Tuing tidak percaya dengan pernyataan perempua cantik itu. Namun, setelah mendengar suara dan mencium bau perempuan itu tidak ada bedanya dengan suara maupun bau Siti Rukiah, akhirnya I Tui-Tuing pun yakin bahwa perempuan cantik itu adalah istrinya. Setelah keduanya saling mengenal, mereka pun langsung berpelukan.

Keesokan harinya, mereka pergi mengunjungi orangtua mereka dengan wajah yang baru. I Tui-Tuing tidak lagi menyerupai ikan terbang, tapi sudah berwujud manusia. Begitupula Siti Rukiah, ia tampak jauh lebih cantik dan memesona, karena bedak arang yang menempel di wajahnya benar-benar sudah hilang. Kini wajahnya tampak bersinar dan pipinya terlihat kemerah-merahan bagaikan buah delima.

Pertama-tama mereka mengunjungi rumah orangtua I Tui-Tuing. Alangkah terkejutnya kedua orangtua I Tui-Tuing ketika mengetahui bahwa lelaki gagah dan tampan itu adalah anaknya, dan gadis cantik itu adalah menantunya. Demikian pula ketika mereka sampai di rumah orangtua Siti Rukiah. Keluarga Siti Rukiah seakan-akan tidak percaya pada kenyataan itu, terutama kelima saudarinya. Mereka pun sangat menyesal, karena dulu menolak pinangan I Tui-Tuing. Namun, semuanya hanya tinggal penyesalan. Entah sampai kapan kelima gadis itu terus menunggu jodoh mereka datang. Sementara, Siti Rukiah hidup rukun dan bahagia bersama suami tercintanya, I Tui-Tuing.



Demikian cerita I Tui-Tuing dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat iri dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kelima putri juragan terhadap kecantikan saudarinya yang bernama Siti Rukiah. Mereka memberinya bedak arang dan mengurungnya di kamar paling belakang, agar kecantikannya tidak dilihat oleh para pemuda tampan. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat iri dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah kepada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain, bahkan terhadap saudara sendiri.

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa orang-orang yang teraniaya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Mahakuasa. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Siti Rukiah. Walaupun kelima saudarinya selalu berusaha menghalang-halanginya agar tidak menikah dengan pemuda tampan, namun dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, Siti Rukiah menikah dengan pemuda gagah dan tampan, yakni I Tui-Tuing. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci..




IDENTITAS

Mungkin masih jelas dalam ingatan kita berbagai penomena yang terjadi dalam pentas demokrasi pemilihan gubernur pertama sulawesi barat dua tahun yang lalu, salah satu penomena yang mestinya tidak terjadi adalah dengan munculnya stigma atau sekat-sekat identitas bagi kandidat calon gubernur saat itu dengan identias to buttu (orang gunung) dengan orang pesisir atau stigma orang mandar asli dengan orang mandar ”tidak asli”.Pemunculan sekat identitas tersebut pastinya berpengaruh bagi terbukanya peluang kandidat tertentu walaupun pembangunan stigma tersebut tidak berhasil karena nyatanya seorang Anwar Adnan Shale terpiluh menjadi gubernur pertama sulbar walau sebelumnya dilekatkan stigma identitas ”to buttu” atau bukan mandar asli bagi beliau.Tulisan ini bukan ditujukan untuk mengungkit masa lalu apalagi sekarang yang semestinya dilakukan adalah menatap masa depan bersama, namun yang perlu diingat bahwa kejadian tersebut merupakan sebuah tragedi kecelakaan atau penodaaan nilai luhur yang terbangun dalam konsep mandar yang telah susah payah dibangun oleh leluhur kita.Mandar yang menurut sebagian pakar ditafsirkan saling memperkuat, seperti yang diungkapkan H. Mochtar Husein (1984) yang manyatakan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti salah satunya adalah Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan yang kemudian berubah seiring pengembangan menjadi Mandar. Penafsiran tersbut didasarkan pada adanya perjajian 14 kerajaan yakni pitu ulunna salu yang berada di dataran tinggi pegunungan dan pitu babana binanga yang berda diwilayah pesisir.Dari kenyataan diatas, lebih tepatnya memandang mandar sebagai sebuah konstruk politik dimana mandar merupakan persekutuan hidup 14 kerajaan yang memiliki multicultural (beragam) warna tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan. Keberagaman tersebut merupakan kekayaan dan menjadi modal perlawanan terhadap kondisi sosial pada saat itu yang menghadapi agresi militer dari kerajaan bone. Sipa Mandar merupakan konstruk politik merupakan penyatuan visi-misi, kesamaan nasib, kehendak bersatu, berada dalam daerah terotorial (tanah, air) yang sama, serta perangai (yang relative sama) oleh 14 kerajaan yang dikenal dengan pitu ulunna salu, pitu babana binanga. Dengan adanya pernyataan sipa mandar tersebut, segala perbedaan identitas menyatu dengan tetap menjaga kepentingan identitas masing-masing. Konsep sipa mandar jelas mengilhami konsep mulikulturalisme. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, 1997).Tetapi sayangnya dalam perjalanan hidup mandar, multikulturalisme sebagai suatu “datum” (suatu yang terberi) dan “factum” (sesuatu yang dibuat dan dihidupi) yang merupakan pondasi berdirinya mandar belum sepenuhnya menjadi wawasan dan kesadaran bersama, yang pada akhirnya berujung pada disintegrasi social. Keberagaman justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain akan tetapi upaya untuk ”mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam adalah bukti nyata hal di atas. Tak aneh, kalau kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan mandar yang multikultural.Hal senada telah diungkapkan Gus Dur bahwa harus ada usaha demokratisasi yang akan berujung pada desentralisasi pada seluruh ruang kehidupan kita, khususnya kebudayaan. Hal tersebut bisa diandaikan bahwa seluruh inisiatif rakyat harus tumbuh dengan segala keberagamannya, juga berarti bahwa dualitas (diversity) harus menjadi pedoman dalam mengambil kebijakan dan bertindak dalam masyarakat, bukan ajaran tunggal, kalau hal tersebut tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang miskin budaya.Dengan fenomena tersebut dikhawatirkan Sulawesi Barat seperti ramalan Gus Dur akan menjadi daerah yang termiskin kebudayaan di Indonesia dan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah sipamandar tidak akan di ilhami secara keseluruhan oleh generasi pewaris.

Dari Sini Latar Budaya Itu Dimulai


Kebudayaan dan sejarah adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan secara absolut. Artinya, ketika pengkajian kebudayaan mencoba menarik garis demarkasi dengan sejarahnya hampir bisa dipastikan yang bakal ditemui adalah kegamangan kebudayaan.
Kebudayaan apa saja dibelahan bumi ini selalunya dicatat oleh sejarah. Disitu sejarah dengan setia akan menungguinyadan mencatatkan setiap jengkal perubahan, pergeseran, bahkan pergesekan yang ditimbulkan oleh kebudayaan berukut manusia sebagai pelaku kebudayaannya. Kebudayaan sebagai gejala, kebudayaan setua sejarah manusia sendiri, yakni manusia sebagai makhluk individual dan sekaligus sosial. Disini kebudayaan dapat dimaknai sebagai pengejawantahan akan proses pengukuhan pergeseran dan perkembangan kemanusiaan. Dan kenyataan kehidupanlah yang lalu kemudian menjadi konsep kebudayaan. Fuad Hasan (1989).
Dalam pemahannya seringkali kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, karsa dan krya manusia. Yang lalu oleh sejarah dicatatkan apa yang dihasilkan oleh manusia itu sebagai kebudayaan.
Ketika kacamata analisis akan diarahkan pada pengamatan atas realitas kebudayaan suatu ranah budaya, sudah hampir pasti ia tak mungkin meninggalkan akar sejarah peradabannya. Berangkat dari asumsi ini, maka kiranya tidaklah salah jika diterjemahkan, bahwa memahami sejarah dan kebudayaan tidak mungkin abai kepada realitas empiris sejarah peradaban sebuah ranah budaya. Tempat berdiamnya sebuah komunitas kemasyarakatan. Tak pelak upaya yang sama juga tampaknya harus dimulai, ketika, akan coba dikaji perihal Mandar dan kebudayaannya. Salah satu syarat utamanya adalah, mesti beranjak dari asal muasal, agenda pertumbuhan dan perkembangan kebudayaannya. Hingga kepada letak geografis kewilayahannya dan lain sebagainya yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang dipahami sebagai konsep kebudayaan. Mandar sebagai sebuah entitas yang memiliki keluhuran budayanya, adalah salah satu contoh kongkret yang amatlah menarik untuk di kaji secara mendalam. Utamanya dalam kaitannya dengan realitas nilai yang terus berkembang dan dinamis bersamaan dengan pergeseran waktu dan perubahan ruang. Jika menilik periodisasi Kebudayaan Mandar, maka ada baiknya ditoleh apa yang pernah ditulis oleh Leonard Y Andaya (2004),
Di Sulawesi Selatan ada empat suku besar yakni, Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dimana bugis mendiami seluruh bagian timur dan separuh bagian barat dari semenanjung Sulawesi Selatan, Makassar mendiami bagian barat dan selatan sedangkan Toraja Sa’dan kebanyakan mendiami wilayah pegunungan utara berbatas dengan Bugis. Sementara Mandar menempati wilayah pesisiran dan pegunungan atau pedalaman di bagian barat daya. Khusus untuk Mandar terdiri atas dua pembahagian, yakni, Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan digunung atau di pedalaman­- pen), mereka ini secara etnis adlah orang Toraja. Dan mereka yang tinggal dipesisiran yang berqada dibawah sebuah konferedasi, Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di pesisiran- pen).
Mandar, jika dikaji peradabannya, utamany dalam konteks nilai dan alegori budayanya. Sudah hampir pasti, mesti diawali dan dimulai dari pemahaman dasar atas ranah pijakan sejarah yang melatarinya, seperti yang telah dijelaskan diatas tadi.
Dari segi kebahasaan penamaan akan Mandar sendiri masih terjadi kesimpang siuran. Hal ini mudah di pahami, mengingat minimnya simbol budaya Mansar yang dapat dengan gamblang menjelaskan penggunaan label kata Mandar pada manusia yang berdiam di pesisiran dan pedalaman bagian barat sebelah utara Sulawesi Selatan ini. Atau yang kini disebut sebagai Wilayah Sulawesi Barat pasca pemekaran provinsi.
Namun untuk mempermudah pemahaman akan label penanaman Mandar itu sendiri dapat ditelisik perkosakata seperti, dharaman, manda’ dan meandar. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa kosakata Mandar sendiri berasal dari bahasa Hindu yang terdiri dari dua kata man dan dhar yang jika digabungkan akan berbunyi dharaman yang berarti mempunyai penduduk. Yang lalu kemudian mengalami perubahan, hingga menjadi Mandar. Ibrahim Abbas (1999).
Sementara itu Mandar sendiri dapat menunjukkan aliran sungai yang dikenal dengan Sungai Mandar. Berhulu Ulu Manda’ di bahagian pegunungan Kecamatan Malunda Kabupaten Majene, dan bermuara membelah kota kecil Tinambung di Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas. Sehingga kini tidak jarang, ketika seseorang mau melakukan perjalanan ke Tinambung sebutan yang keluar dari bibirnya adalah ia hendak ke Mandar, yang artinya ke Tinambung yang untuk penggunaan istilah penamaan ini, tidak jelas benar, entah sejak kapan dimulai penyebutannya.
Hal yang mirp, juga pernah diungkap oleh DR. Edwar L. Poelinggomang, MA. (2004)yang menyebutkan, bahwa interfretasi tentang pengadopsian kata Mandar yang berarti sungai tersebut adalah cukuplah beralasan. Karena penamaan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu sendiri telah menggunakan keterangan sungai, yakni Salu dan Binanga yang keduanya jika diterjemahkan dalam bahasa Mandar bermakna sungai. Hal ini lalu diperkuat lagi oleh adanya penggunaan suku kata di daerah Balanipa yang jika menyebutkan sungai, selalu menggunakan kata Mandar.
Menurut Drs. Darwis Hamzah, seperti yang kutip Ibrahim Abbas (1999), Mandar berasal dari bahasa Ulu Salu daerah pegunungan, yang berarti manda’ yang sama dengan makassa’ atau masse’ yang berarti kuat. Disamping penamaan tersebut diatas, hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan adanya kata-kata dalam bahasa Mandar yang hampir mirip dan relatif memiliki kesamaan bunyi dengan kata Mandar. Seperti meandar yang berarti mengantar dan mandarra yang dapat berarti memukul dan mendera atau sipamandar yang berarti saling menguatkan.
Sipamandar sendiri, yang berarti saling menguatkan dapat dikaitkan dengan adanya penyatuan tujuh kerajaan pantai dan tujuh kerajaan dipegnungan atau Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga pada abad ke-16. Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Namun lain halnya klaim yang dikemukakan A. Syaiful Sinrang (1980), yang menyebutkan bahwa Mandar juga dapat diterjemahkan sebagai bercahaya mandara’na dan pandara’na di Ulu Manda’ di Kecamatan Malunda Kabupaten Majene. Atau ngmandara dan mandarang yang dapat diterjemahkan sebagai memanaskan dengan api.
Tetapi pada akhirnya dari mana dan apapun asal kata Mandar, hingga kini belum ada yang dapat dengan gamblang menyimpulkannya. Sebab yang pasti, Mandar adalah sebuah suku bangsa yang ada di Indonesia yang berada di Sulawesi Barat (pasca pemekaran propinsi Sulsel-pen) dan berdiam di dua wilayah yakni pesisiran dan pegunungan atau pedalaman dan berada di bagian barat Pulau Sulawesi atau pesisir utara Propinsi Sulawesi Selatan. Terdiri atas beberapa kabupaten yakni, Polmas, Majene dan Mamuju (Plus Mamasa dan Mamuju Utara Pasca Pemekaran-pen). Dan hingga kini Mandar yang diterjemahkan sebagai Sungai Mandar yang hinggakini mengalir dan bermuara membelah Kota Tinambung di Kecamatan Tinambung.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, dari mana pula asal muasal sejarah dan beradaban manusia Mandar. Untuk menjawabnyamungkin ada baiknya jika dimulai dengan mencoba melakukan pengklasifikasian atas zaman dan era peradaban manusia. Khusus untuk Mandar dan sejarah peradabannya dapat dibagi atas dua kategori dasar pembahagiaan. Atau yang lebih lazim dikenal sebagai periodisasi sejarah. Yang pertama adalah, zaman prasejarah dan zaman sejarah. Zaman prasejarah sendiri didasarkan pada uraian yang mencoba menguntai sejarah peradaban suatu masyarakat yang mendiami suatu wilayah, dimana komonitas masyarakat tersebut belum meluk huruf atau tulisan.
Hal yang juga menjadi pertimbangan dari prasejarah sebagai pilihan periodisasi ini adalah, pada era prasejarah-lah, peradaban dianggap sebagai masa pembentukan kebudayaan asli Indonesia. Ayatroehadi (1986).
Yang tentu dasar pengkajiannya adalah didasarkan pada simbol dan ikon-ikon kebudayaan atau benda-benda bersejarah yang dihasilkan, berikut redeksi masa pembuatan dari benda-benda bersejarah tersebut. Dasra pembagian berikutnya adalah zaman pasca prasejarah atau yang acap dikenal dengan zaman sejarah. Dimana pada zaman ini huruf atau tulisan sudah mulai dikenal.
Sehingga model dan dasar pengkajiannya didasarkan pada bukti-bukti tertulis yang ada setelah sejarah itu mulai mencatatkannya. Untuk zaman sejarah atau setelah prasejarah di Mandar ini dapat didasarkan pada dua kategorisasi pembagian yakni; Zaman Kerajaan dan yang terakhir adalah Zaman Masuknya Islam di Mandar.
B. Zaman Prasejarah
Seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa, pembahagian yang pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang meliputi zaman batu tua, zaman batu pertengahan dan zaman batu baru. Yang jika diurai penelusurannya, dapat dimulai sejak, adanya penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir.
Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).
Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. (ibid).
Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).
Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To Wisse di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.
Sampai di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar Mandar, bahwa sekitar tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia yang kemudian bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena terjadi peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas masyarakat asli yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu kemudian terdesat itu.
Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantara adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. Sarman Sahudding (2004).
Belum lagi apa yang disebutkan oleh DR. Edward L. Poelinggomang, M.A. (2004), yang menuliskan bahwa manusia pertama Mandar, seperti yang ada dalam Lontar seperti yang dikutip Salahhuddin Mahmud (1984) adalah, mendarat dan menetap di daerah hulu Sungai Sadang. Keterangan ini menurutnya DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. dapat diterjemahkan bahwa, pemungkiman di daerah ini telah terjadi jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan laut (masa glasial). Lalu kemudian karena bencana alam, wabah penyakit, persoalan adat dan sistem kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan membuat pemukiman baru.
Disamping itu, mengenai manusia pertama Mandar seakan telah pula ada kesepakatan bahwa manusia pertama itu adalah Tomanurung, dimana diterjemahkan sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar kebeberapa daerah. (ibid).
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.
Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.
Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.
Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya.
C. Zaman dan Sejarah Kerajaan di Mandar
Memulai penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar mungkin bisa mengambil dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang selalu beranjak dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut kepada mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan. Perpindahan masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang ke suatu komunitas mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa lalu lintas kepentingan dalam masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada lalu lintas kepentingan dalam masyarakat heterogen. Sehingga terkadang akut memicu komplik dan peperangan diantara mereka. Sebagai konsekwensi logis dari kian memadatnya lalu lintas kepentingan dalam masyarakat pendatang dengan masyarakat yang didatangi. Dari peperangan ini pula kemudian melahirkan para pemimpin atau penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut. Tetapi tentu pemahaman ini tidak lantas serta merta akan digunakan secara serampangan. Sebab apapun alasannya, penelusurannya tentu didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang ada di masyarakat tersebut. Paling tidak melihat apa yang dipahami dan diyakini ada dan terjadi pada komunitas masyarakat yang berdiam diwilayah tersebut.
Di Mandar seperti cerita yang berkembang dan dipahami, termasuk yang ada didalam lontar seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999) bahwa kerajaan pertama di Mandar muncul secara spontan dari langit (manusia langit-pen). Hal itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang bernama To Manurung di hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun 1190 M.
Kemudian terjadi peperangan karena adanya komunitas pendatang yang melakukan perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa cikal bakal kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi Raja pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To Manurung inilah kemudian yang melahirkan seorang putra yang bernama To banua Pong. To Banua Pong kemudian melahirkan lima orang anak yang kemudian tersebar ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah satu diantaranya bernama I Pa’darang. I Padarang inilah kemudian melahirkan raja-raja di Bone dan raja-raja di Mandar. Namun seperti yang lalu disahuti oleh A Syaiful Sinrang setelah melihat beberapa lontar menyebutkan bahwa dari Banua Pong lahir seorang anak yang menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sedang versi lainnya malah menyebutkan bahwa cikal bakal kerajaan muncul lebih duluan yakni pada abad ke 11 M. Dari seseorang yang bernama Pongkapadang yang tak lain adalah anak To Kombong Dibura dan To Bisse Ditallang di hulu Sungai Sa’dang yang menikah dengan Tori Je’ne. dan menjadi pemimpin pertama kerajaan di Tabulahan. Sarman Sahudding (2004).
Sementara itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat yang lalu dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat di daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai di Karama di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai menuju Hulu Sungai Mahakam. Namun karena infasi militer dan wabah penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian dipisahkan pindah ke Toraja atau Luwu.
Satu hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman Sahuddin dan Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di Mandar berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi Muh. Ridwan Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah ada jauh sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis lainnya. Dimana menurutnya sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri sejak berdirinya kerajaan di Kutai Kertanegara. Hala yang terakhir ini juga didasarkan pada temuan sejarah yang menunjukkan adanya cikal bakal kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih lanjut Muh. Ridwan Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman kerajaan juga dapat ditelusuri sejak zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja atau Mara’dia ketika itu. Pada era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh seorang Tomakaka. Lalu entah mangkat atau apa, era tomakaka kemudian berakhir, ditandai dengan munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka Tombara ‘sendiri adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri dalam komunitas lokal mereka.
Untuk Zaman Tomakaka ini sendiri tidak jelas benar kapan munculnya. Yang ada hanya dugaan bahwa ia ada sebelum zaman Lagaligo. Sedang I Lagaligo sendiri, seperti yang ditulis Leonard Y Andaya (2004), diciptakan di Luwu pada masa Puncak kekuasaannya yakni pada abad-9.
Dalam perkembangan berikutnya, Tomakaka lalu menjadi pemimpin di daerah pesisiran yang melenyap setelah tampilnya Mara’dia atau raja pertama Todilaling. Sementara di wilayah pegunungan Tomakaka tetap ada walau di wilayah pesisiran zaman Tomakaka sendiri telah berakhir. Dalam tatanan administratif, Tomakaka sesungguhnya adalah orang yang dituangkan dalam komunitas lokal, tetapi ia memiliki kedaulatan penuh kedalam dan keluar komunitas lokalnya. Hal yang dapat dijadikan acuan dalam menelusuri zaman tomakaka ini juga adalah apa yang pernah ditulis dalam Bestuurmemorie seorang asisiten Residen Mandar, W. J. Leyds yang menyebutkan, bahwa sebelum jaman Tidilaling telah terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk itu dikepalai oleh seorang Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di Pasokkorang yang berada di Luyo atau dekat Mambu.
Namun karena mendapatkan penyerbuang dari gunung, maupun dari pesisiran Tomakaka di Pasokkorang ini lalu lenyap, bersamaan dengan hangusnya rumah-rumah penduduk Sarman Sahuddin (2004).
Sementara itu peta dan agenda sejarah perjalanan kerajaan Mandar juga tak boleh luput dari sejarah kerajaan balanipa yang kala itu ditandai dengan hadirnya Todilaling atau dikenal sebagai Tomayambungi sebagai mara’dia pertama. Yang setelah ia kembali dari Goa berupaya mempersatukan negri-negri besar atau lebih dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat kerajaan besar-pen) yang meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang. Masing-masing daerah itu juga dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang diketahui oleh Tomayambungi. Dan setelah ia mangkat, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal sebuah nama Puang Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang banyak membantu Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas kepemimpinan Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan kemampuannya merampung dan mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah Pitu Ba’bana Binanga, seperti kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae, Pamboang dan Mamuju. Lalu membuat persekutuan kekerabatan (konfederasi) yang kemudian dikenal dengan Annang Ba’bana Binanga (enam kerajaan pesisir-pen),minus kerajaan Binuang yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai Mara’dia Kedua Balanipa (ibit).
Bertitik tolak dari sinila lalu kemudian dikenal adanya perjanjian atau Muktamar Tammajara. Yang dalam banyak catatan menyebutkan, Muktamar atau perjanjian Tamajarra pertama yang dijelaskan pada abad-15 M. Konon perjanjian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk menyerang dan menghancurkan Tomakaka Pasokkorang yang dinilai telah lama mengganggu ketentraman daerah Mandar yang kala itu belum berbentuk Pitu Ba’bana Binanga.
Sahdan pasca Mukatamar atau perjanjian Tammajarra pertama itulah, lalu keempat kerajaan ini menyerang dan memberanggus kerajaan Pasokkorang. Namun Pasokkorang sendiri sempat malarikan diri ke Sawitto (daerah di Kabupaten Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar Tamajarra ke dua yang juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh Tomepayung dan sudah dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang yang absen pada Muktamar Pertama.
Motivasi dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah untuk menguatkan barisan kembali melawan dan menyerang Pasokkorang yang dikhawatirkan akan kembali berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada Muktamar atau perjanjian Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk menjadikan Kerajaan Balanipa sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai ibu dalam konsep dan tatanan adat. Kendati Balanipa sebagai Bapak dan Sendana sebagai Ibu dalam tatanan adat, namun kerajaan-kerajaan lainnya tetap memiliki otoritas kewilayahan masing-masing, kecuali dalam hal pertahanan dan keamanan. Dari Ikrar Tammajarra kedua ini pulalah terealisir keinginan untuk menyatu dalam sebuah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga ini, walau sebelumnya idea dasarnya telah muncul pada saat Ikrar Tammajarra pertama.
Versi lain diseputar sejarah Muktamar Tammajarra ini juga sempat ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999) yang menyebutkan bahwa, Ikrar Tammajarra pertama justru terjadi pada zaman Mara’dia Todilalang I Mayambungi atau raja Balanipa pertama dan bertempat di Tamajarra yang juga dihadiri oleh enam kerajaan Mandar di pesisiran pantai, minus Kerajaan Binuang. Hasil dari Ikrar Tammajarra pertama ini kemudian memuat materi kesepakatan untuk mengangkat Balanipa sebagai bapak pada tatnan adat, dan Sendana sebagai Ibu. Yang pengandaiannya adalah, Balanipa berfungsi sebagai penerang atau pelita bagi enam kerajaan tersebut. Sedangkan Sendana sebagai payung atas enam kerajaan tersebut.
Sedang pada Ikrar Tammajarra kedua yang disponsori oleh Todiwesoang (Raja Balanipa ke-4), dihadiri oleh raja-raja dari tujuh kerajaan pesisiran. Termasuk kerajaan Sipajolangi (Raja Binanga I). Adapun ketetapan yang lahir dari Ikrar Tammajarra kedua yang juga telah dihadiri oleh kerajaan Binuang ini adalah, mengenai ketetapan-ketetapan masalah hukum, dimana persoalan di tingkat otoritas kerajaan masing-masing yang tak lagi dapat diretas. Maka yang berhak menyelesaikannya sebagai hakim tingkat pertama adalahibu yakni Sendana. Jika selama tujuh hari tidak juga ditemukan kepastian hukum maka Balanipa-lah sebagai hakim akhir dari persengtaan hukum atau persoalan kemasyarakatan lainnya.
Sementara itu konfederasi tujuh kerajaan di gunung sendiri juga membentuk sebuah persekutuan, atau yang kemudian dikenal sebagai Pitu Ulunna Salu yang menurut sejarah Pitu Ulunna Salu digelar pada akhir abad ke-15 M yang ditetapkan di Talipukki sebagai Lisuan Ada’. Sarman sahudding (2004).
Sementara itu menurut Muh. Ridwan Alimuddin (2003) deklarasi Pitu Ulunna Salu sendiri digagas dan diprakarsai oleh Londong Dehata alias Tomapu’. Muktamar Pitu Ulunna Salu sendiri dihadiri oleh Rantebulahan sebagai Indo Lembang, Aralle sebagai Indo Kadanene’, Indo Lita’ Petaha Mana Pabisa Parandangan, Mambi sebagai Lantang Kadanene’, Tabang sebagai Bubunganna Kadanene’, dan Bambang sebagai Bubunganna Kadanene’.
Sedang menurut, Ibrahim Abbas (1999), musyawarah pembentukan persekutuan Pitu Ulunna Salu digelar di daerah Mambi dihadiri oleh tujuh kerajaan dan menelorkan beberapa kesepakatan seperti, Rantebulahan sebagai ketua persekutuan yang bergelar Indo Lembang, Aralle sebagai Wakil Ketua Persekutuan, Mambi sebagai tempat Permusyawaratan Persekutuan, Sementara Tabang sebagai Bumbunna Sangkadanne,’ Dan Bambang sebagai Dandirinma Sangkadann,’ Matangnga sebagai Tundu’ Masande’na, serta Tu’bi sebagai Tomatuanna Sangkadanene.’
Yang menarik dari sejarah persekutuan kerajaan di Pitu Ulunna Salu tersebut adalah adanya ketidak sepahaman apakah Tu’bi juga adalah bahagian yang masuk kedalam persekutuan tersebut atau tidak. Sebab yang jelas Sarman Sahudding (2004) menulis bahwa, persekutuan Pitu Ulunna Salu terdiri atas, Tabulahan, Rantebulahan, Mambi, Aralle, Matangga, Tabang dan Bambang.
Dalam tulisannya itu ia juga mengakui bahwa memang ada semacam kontroversi sejarah. Tu’bi atau Bambang-kah yang masuk dalam persekutuan tersebut. Versi pertama menyebutkan, Bambang-lah yang masuk dengan alasan penyebaran agama Kristiani di Bambang yang cukup massif. Sedang paham lainnya juga memahami, bahwa justru Tu’bi-lah yang masuk, juga karena alasan agama Islam yang mayoritas di Tu’bi, sedangkan Bambang muncul kemudian disebabkan karena Bambang kemudian dikukuhkan sebagai Su’buan Ada’di Pitu Ulunna Salu.
Dan jika disandingkan dengan konteks ketatanegaraan di kekinian, persekutuan di Pitu Ulunna Salu dapat diterjemahkan sebagai berikut : Tabulahan sebagai eksekutif yang bertugas menangani masalah kesejahteraan, kesehatan, keagamaan dan pendidikan di Pitu Ulunna Salu, Sedangkan Rantebulahan, bertugas sebagai eksekutiv yang berfungsi menangani masalah politik, keagamaan terutama menyangkut perang fisik dan perekonomian. Sementara Mambi, lebih fokus menangani bidang pertanian dalam bidang eksekutiv sedang Mambi dalam bidang legislative bertugas sebagai tempat penyelenggaraan musyawarah adat Pitu Ulunna Salu.
Aralle bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator atau pemerintahan adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus, menjadi pusat informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai hubungan kedua wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang legeslative Aralle adalah kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga sendiri, berfungsi dalam bidang eksekutiv sebagai benteng pertahanan, khususnya jika persekutuan dalam keadaan genting dan mendesak akan adanya serangan dari luar wilayah persekutuan. Di bidang legislative Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban jalannya sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang Tabang bertugas menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan dalam bidang eksekutiv menjaga dan mengamankan hasil-hasil musyawarah dalam bidang legislative. Sementara Bambang bertugas sebagai penghubung dengan semua anggota persekutuan jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta menjaga kerahasiaan hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi memiliki tugas menjaga batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung terkhusus kaitannya dengan kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan, utamanya dengan Pitu Ba’bana Binanga. (idem).
Hal lain yang juga tak kalah menariknya dari sejarah kerajaan di Mandar adalah, dikenalnya beberapa perjanjian, sebagai salah satu asfek dari sekian banyak asfek sejarah yang menyokong etnis atau suku bangsa yang bernama Mandar ini. Yang untuk itu dapat di baca jejak-jejaknya hingga kini. Artinya adalah ketika terbangun kesepakatan bahwa Mandar adalah sebuah negeri yang besar dan memiliki peradaban yang agung berikiut sejarahnya. Maka andil sejarah beberapa perjanjian dalam menoreh jejak pada tapak-tapak sejarah kerajaan Mandar adalah sebuah keniscayaan yang mutlak dibahasakan. Dari lintas alur logika inilah akan dicoba diurai beberapa perjanjian dan deklarasi yang lalu kemudian menyerah di Tanah Mandar selain sejarah Muktamar Tamamajarra Pertama dan Muktamar Tammajarra Kedua serta deklarasi Pitu Ulunna Salu.
Jika dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut seperti dikemukakan oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian Rantebulahan yang konon terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan Rantebulahan dan mewakili Pitu Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili Pitu Ba’bana Binanga. Motif dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil perbedaan pendapat guna persatuan dan kesatuan.
Sedang perjanjian berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang juga diklaim terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan. Perjanjian ini dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga untuk menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di Taang.
Berikutnya adalah, perjanjian Passulurang Bassi di Lakahang yang juga diduga terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan untuk membicarakan tentang masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan yang menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu Ba’bana Binanga.
Perjanjian lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga terjadi sekitar abad ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status Palili’ Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang berikutnya, dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Sungki’ yang materinya juga membicarakan tentang status daerah Paili’ Massedan, utamanya menyangkut hukum yang berlaku di daerah tersebut. Dimana ditetapkan melalui perjanjian ini, bahwa hukum yang digunakan di Palili’ Massedan adalah hukum yang hidup di daerah tersebut.
Perjanjian berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo, sebagai titik sumbu penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang menurut sejarahnya di motori oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo. Lalu dikatakan sebagai Allamungan Batu di Luyo, sebab pada perjanjian atau deklarasi ini, kemudian di simbolkan dalam bentuk batu yang ditanam ke dalam tanah di Luyo. Yang kini lalu menjadi simbol sejarah persatuan antara kedua persekutuan di Mandar.
Konon pada perjanjian tersebut juga dihadiri London Dehata alias Tomapu’ dari Pitu Ulunna Salu sedangkan dari Pitu Ba’bana Binanga diwakili oleh Tomepayung sendiri. Perjanjian atau Ikrar Luyo sendiri digelar pada abad ke-18 / 19 M sekaligus menjadi tonggkat diresmikannya nama Mandar untuk perserikatan dua persekutuan tersebut. (ibid).
Sedang Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi kesepakatan atas ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama, jika anasir musuh datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka itu dibawah tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh datang dari wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya adalah, Pitu Ba’bana Binanga. Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan dan soliditas antara dua persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah, pernyataan senasib sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang sebagai perjanjian persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran dan kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian ini, yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat konfederasi.
Bahkan menurut Darwis Hamzah seperti dikutif DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. (2004), menyebutkan bahwa sebutan lain yang tepat atas Perjanjian Luyo ini adalah Sipamandar, yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo adalah Sipamandar yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo ini adalah perjanjian yang dianologikan sebagai bola mata yang mustahil dipisahkan antara warna hitam dan warna putih.
D. Sejarah dan Zaman
Masuknya Islam di Mandar
Jauh abad sebelum Islam dikenal di Nusantera, utamanya pada zaman kerajaan, dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama persis dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi). Sehingga yang dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah adanya kepercayaan yang bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol budaya.Yang kemudian dikenal sebagai religi budaya.
Yusuf Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut digunakan sebagai media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat bahwa simbol tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang.
Artinya, diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu hanya tunduk dan patuh kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya, selebihnya adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau; kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Artinya yang berkembang pada saat itu adalah, kepercayaan yang lalu kemudian di bahasankan sebagai religi. Yang untuk itu dapat dilihat dalam lokalitas adat yang hingga kini masih menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara ritual kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan keterikatan.
Di Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan Pitu Ulunna Salu telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna. Sarman Sahudding (2004).
Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti, tradisi ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
Sementara khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya, sebahagian pandangan menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada abad ke-16 M. saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang yang masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika itu Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa didatangi oleh Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari Gowa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di Binuang sebab terakhir ia berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di Binuang Ibrahim Abbas (1999).
Menurut sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula pertama menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia gunakan adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian ke-Islam-an yang seperti pesentren. Pesantren yang paling pertama ia bangun adalah di daerah Tanggatangga. Salah satu daerah yang berada dibawah kendali wilayah mara’dia Balanipa. Dan di Tanggatangg itu pula oleh Tuanta di Binuang kemudian mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah Mandar. Hal ini kemudian ditandai dengan simbol yang dikenal sebagai mokking patappulo diwilayah tersebut, yang kalo diterjemahkan kurang lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai santri yang mula pertama diasuh di pesantren tersebut.
Sepeninggalan Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan namun pasti penganut agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke wilayah Allu, Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang sama, di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan bernama Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari Maghreb di daratan Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam mula pertama dikenal di Pamboang yang kemudian diiukuti oleh mar’dia Pamboang yang lalu bergelar Tomatindo Diagamana, yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang meninggal ketika ia telah menganut agamanya, yakni Islam.
Laiknya sebuah seruan kerajaan, saat mara’dia Pamboang tersebut memeluk Islam, maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat memeluk agama yang dianut oleh sang mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose Banggae juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang digelar sebagai Tosalama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu. (ibid).
Namun versi lain juga menyebutkan, bahwa sejarah masuknya Islam di Mandar, tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi. Hal itu diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Anthony de Paiva seorang pedagang Portugis yang pernah berkunjung ke Sulawesi pada tahun 1543 dan menandakan bahwa saudagar-saudagar muslim sudah menginjakkan kaki sebelumnya ditanah Mandar, dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-15 M. Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Bahkan lebih jauh Muh. Ridwan Alimuddin menulis, sejarah masuknya Islam di Mandar juga menuai banyak pendapat, yang antara lain, melirik lontar Mandar yang menyebutkan, bahwa Abdurrahim Kamaluddin-lah yang mula pertama membawa syiar Islam ke Mandar, saat ia mula pertama merapat di bibir pantai Tammangalle. Dan Kanne Cunang atau mara’dia Pallis-lah yang mula pertama memeluk Islam lalu diikuti oleh Raja Balanipa ke-4; Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang. Pendapat ini kemudian dinilai banyak kekurangannya. Utamanya tidak ditemukannya keturunan Abdurrahmim Kamaluddin di Mandar.
Sedang menurut Lontar Gowa, Islam pertama kali masuk di Mandar di bawah oleh Tuanta Syekh Yusuf ( Tuanta Salamaka). Menurut pendapat ini pada tahun 1608 seluruh daerah Mandar telah memeluk Agama Islam. Namun tidak jelas benar apakah yang di maksud Tuanta Syekh Yusuf ini juga adalah Syekh Abdul Mannan yang membawa siar Islam di Banggae yang pertama kali diamini oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608 atau bukan. Sampai disini disebutkan pula, bahwa yang pertama memeluk agama Islam di Banggae adalah Sukkilan yang kuburannya dapat ditemukan di Mesjid Raya Majene kini.
Sedang versi lainnya juga menyebutkan, bahwa untuk menapak jejak langkah pertama siar Islam di Mandar juga dapat menilik surat yang dari Mekkah Pada I Muharram 1402 H. yang kalo ditukil, didalamnya menyebutkan tentang, kehadiran seorang Assayyid Al Adiy dan bergelar Guru Ga’de yang berasal dari keturunan Malik Ibrahim. Surat ini diperkuat dengan kuburannya yang hingga kini juga masih dapat dikunjungi di Desa Lambanan. Dan hingga kini masyarakat masih juga ramai mengunjungi kuburan yang dianggap keramat tersebut. Belum lagi, sampai saat ini silsilah keturunan Guru Ga’de yang juga masih berlanjut, seperti dikenalnya nama H. Muhammad Nuh yang tidak lain adalah cucu dari Guru Ga’de yang pada abad ke-18 merupakan orang yang pertama yang memperkenalkan pola pendidikan pesantren di Desa Pambusuang dan Campalagian.
Sementara itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju. (ibid).
Belum lagi banyaknya pemakaman Tosalama’ lainnya di tanah Mandar, yang juga sekaligus dapat membuktikan betapa membuminya Islam di tanah Mandar. Salah satu yang masi ramai dikunjungi oleh banyak orang adalah, di Pulau Tosalama’ di Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar. Dimana ditempat tersebut dan berada di atas puncak ketinggian dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang juga diyakini adalah salah seorang menganjur Islam di tanah Mandar. Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M..
Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene' atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka' Mambi, Tomakaka' Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah Lembang Matangga atau daerah Posi' melalui daerah Mapi dan Tu'bi. Hal lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan tempat dikebumikannya To Salama' atau sang pembawa Islam pertama kali ke daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua or­ang yang tak dikenal sebagai pembawa Islam pertama.
Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian, lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga diyakini sebagai pekuburan To Salama' yang dipercaya pertama kali membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene'. Yang lalu dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan, juga dikenal seorang nama Tomesokko' Sallang (yang berkopiah muslim-pen) yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di Rantebulan.
E. Dialek dan Gaya Bahasa Orang Mandar
Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indo­nesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indo­nesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992), bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.
Selain itu, juga ada kecenderungan yang sama dengan bahasa lain di luar bahasa Mandar yang mengikuti para pendukung bahasa Mandar dimanapun ia berada. Sehingga bahasa Mandar jika dilihat dari persebarannya juga banyak kita temuui di beberapa daerah dimana orang dari suku bangsa Mandar berada. Katakanlah seperti, di Kalimantan, Nusa Tenggara, beberapa dearah Palu Sulawesi Tengah, Bali, Madura dan beberapa tempat lainnya dimana disitu berdiam komunitas dari suku bangsa Mandar.
Kendati demikian, tidak lantas menjadi hambatan dalam proses komunikasi masyarakat Mandar, sebab proses penyatuan dan peleburan dalam komunikasi telah terjadi pembauran bahasa yang relatif sudah cukup cair utamanya di daerah Mandar sendiri. Jika menilik dialek bahasa Mandar, maka dapat diklasifikasikan kedalam pembahagian beberapa dialek seperti, dialek Balanipa di Kabupaten Polmas yang berpusat di Tinambung dengan varian-varian seperti Lapeo, Pambusuang, Karama, Napo, Tandung, Todangtodang.
Sedang dialek lainnya adalah dialek Pamboang yang terdapat di Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene yang variannya adalah, Luwaor, Bababulo, Adolang dan Tinambung Galunggalung. Sementara dialek Sendana juga di kabupaten Majene, digunakan di kecamatan Sendana dan daerah pesisir Kecamatan Malunda dengan variannya Mosso, Somba, Palipi, Pelattoang, Tammero'do. Dan daerah lainnya di Malunda juga dikenal dialek Ulu Manda' yang juga berbatasan dengan daerah pedalaman Pitu Ulunna Salu di daerah gunung. Selain itu j uga dikenal adanya dialek Awo' Sumakuyu yang dapat ditemui penggunaannya di Desa Onang dan perbatasan Malunda dengan varian, Desa Tubo yang diduga juga adalah termasuk dialek Ulumanda' atau dialek Mambi Mehalaan. Kendati terdapat beberapa dialek clan penggunaan bahasa lain di daerah Mandar, tetapi pada umumnya dapat memahami dialel: Balanipa. Hal ini disebabkan peran dialek Balanipa pada zaman kerajaanlah yang banyak mendominasi dalam berkomunikasi. Utamanya pada saat gelar pertemuan antar beberapa kerajaan, dimana kerajaan Balanipa diposisikan sebagai ayah dalam peta kerajaan-kerajaan di Mandar. Praktis membuat penggunaan dialeknya menjadi dominan pula. Abdul Muttalib, dkk (1992).
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kesamaan dialek, maka dalam bahasa Mandar dapat disebutkan, bahwa kesamaan dialek Balanipa dan Sendana sebanyak 184 buah kata, Balanipa dan Pamboang 190 buah, Balanipa dengan Majene 196 buah. Dan dialek Majene dan Sendana 182 buah, Majene dengan Pamboang 189, sedangkan Pamboang dan Sendana sebanyak 185 kesamaan. Artinya tingkat kesamaan rata-rata sekitar 90 % sedangkan perbedaannya berada dibawah 10 %. ( ibid).
Sedang menurut Ibrahim Abbas (1999),- bahwa setiap kelompok masyarakat di Mandar memiliki dialek tersendiri, namun yang paling menonjol perbedaan dialek, bahkan sampai pada bentuk pengucapan verbalnya dapat dilihat pada, dialek Mamasa, Campalagian, Balanipa, Pamboang, Malunda dan Kalumpang.
Masih menurutnya, dari segi penggunaan dan penggolongannya, maka bahasa Mandar membedakan tiga jenis bahasa yaitu, bahasa Hadat(bahasa golongan bangsawan) adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara sesama golongan bangsa wan, bahasa Samar (bahasa golongan menengah) adalah bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Namun masih terasa adanya penghormatan -dari or­ang muda terhadap orang yang lebih tua. Dan yang terakhir bahasa Adae (bahasa buruk atau pasaran yang digunakan golongan bawah) adalah bahasa yang kurang bahkan tidak mengikuti aturan dan etika ketata bahasaan Mandar, yang penting mudah dipahami dan dapat digunakan dalam berkomunikasi.
Hal berikutnya yang juga dikenal dalam bahasa Mandar adalah, teknik berbicara dan makna pembicaraan, yang untuk itu dengan mudah dapat dicermati dalam keseharian yang berbentuk, bahasa resmi, bahasa akrab dan bahasa kiasan. Selain gaya bahasa seperti tersebut diatas orang Mandar mengenal pula adanya bahasa tomawuweng (bahasa orang tua-tua), bahasa topanrita (bahasa ulama), bahasa dukun atau yang dikenal dengan bahasa sando di Mandar. (ibid).
Sampai disini, jelas tergambar, bahwa selain bahasa Mandar menjadi alat pemersatu dan komunikasi antar orang Mandar, juga dapat dengan mudah menjadi penanda yang digunakan dalam mengamati orang Mandar, utamanya dari dialeknya yang dapat menunjukkan dari komunitas lokal mana orang Mandar tersebut berada. Selain itu, lebih jauh bahasa Mandar juga dapat menjadi simbol penanda dari kelas sosial mana orang tersebut berada. Hingga sampai kepada penanda untuk mengamati profesi or­ang yang menggunakan, dilihat dari gaya pengucapannya.
Walau kini dalam realitas kesehariannya sudah agak susah untuk membedakannya. Namun yang pasti realitas kebahasaan tersebut, paling tidak, pernah dikenal di Mandar. Sekaligus menunjukkan betapa kayanya bahasa Mandar, utamanya menilik makna dan hakikat intrinsik yang lebih dalam dari sekedar yang tampak atau terdengar verbal dalam bahasa Mandar.
F. Bentuk Rumah dan Maknanya
Jamak dipahami bahwa salah satu fungsi rumah adalah tempat berteduh dan berlindung. Tetapi tentu tidak sampai disitu, sebab rumah selain fungsi tersebut, rumah juga dapat memberi ciri kepada penghuninya. Sekaligus dapat membedakan tingkat dan strata sosial pemiliknya dalam masyarakat. Di Mandar hal yang serupa juga demikian adanya, Dimana disamping ia memperhatikan estetika (keindahan-pen), fungsi dan kegunaan serta posisi­-posisi, pembagian ruangan atau yang lebih dikenal semacam feng shui, di dalam rumah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu adalah merupakan suatu kebiasaan yang telah turun temurung dilakukan oleh masyarakat. Namun hal yang paling mencolok dapat di amati dari rumah Mandar selain berbentuk rumah panggung, seperti kebanyakan khas rumah­rumah etnis Sulawesi, ia juga memperhatikan beberapa syarat dalam proses pendiriannya.
Dalam membuat rumah ini mereka memperhatikan syarat-syarat seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut adalah seperti, syarat ekonomi yaitu, memakai biaya yang serendah-rendahnya dan memanfaatkan alam sekitar. Sehingga rata-rata rumah yang ada di Mandar terbuat dari kayu yang tentu jenisnya bergantung kepada kemampuan pemilik rumah. Syarat yang kedua adalah, syarat teknis, yaitu menggunakan ukuran dan perbandingan yang sesuai. Misalnya ruang rumah lebih tinggi daripada kolong rumah, ruas tengah rumah lebih panjang dari pada ruas muka dan ruas muka lebih panjang daripada ruas belakang, tinggi tiang bubungan ada yang pakai ukuran puang atau bangsawan atau sukaq tang-nya (tinggi tiang bubungan seperdua daripada panjang balok kuda-kuda), yaitu ukuran bagi orang todiang laiyana (bangsawan), untuk orang tau pia biasa (orang terhormat biasa) ukuran tersebut dikurangi sedikit, dan bagi tau samar atau orang kebanyakan, menggunakan suka' ukuran tallu. Tinggi tiang bubungan itu sepertiga dari panjang bae' atau kuda­kuda. Tiang-tiang dilubang dan dihubung-hubungkan dengan balok secara melintang dan membujur dan di perkuat pula dengan passasil (pasak) dan panjoli (paku dari kayu) Syarat berikutnya adalah syarat kesehatan yaitu, menggunakan jendela yang berbentuk persegi empat agar cahaya dapat masuk kedalam rumah dan petukaran udara lancar. Ukuran luas rumah bervariasi antara 5 x 7 cm dan 7 x 9 m.
Diamati dari bentuk ruang dan fungsinya rumah Mandar dapat dibagi atas beberapa ruang dan fungsi sebagai berikut; naung boyang (kolom rumah), ruang yang berada dibawah ini lazimnya digunakan sebagai arena untuk menenun lipa sa’be Mandar (sarung sutra Mandar-pen), menyimpang kayu bakar, alat-alat kerja dan lain-lain ruang berikutnya adalah ruangan diatas rumah yang untuk mencapainnya menggunakan ende atau tangga yang terbuat dengan kayu, ruang boyang atau ruangan rumah bagian atas terdiri dari tallullottang (tiga petak) yang dibagi-bagi menurut kebutuhan. Petak pertama samboyang sebagai ruang tamu, petak kedua tangnga boyang sebagai ruang keluarga, peta tiga adalah ruang belakang yang kerap dijadikan, sebagai songsi atau kamar tidur baik untuk orang tua maupun anak-anak serta keluarga lainnya. Sedang dapur biasanya menjadi bahagian tersendiri dari ruang dan mutlak selalu berada di belakang.
Sedang ruang berikutnya adalah, tapang (loteng), ruangan ini terletak diatas ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis dan tempat menyimpan barang-barang berharga yang tidak digunakan sehari-hari pada waktu ada selamatan, kenduri atau acara perkawinan, dijadikan tempat mengatur lauk-pauk yang akan dihidangkan kepada para tamu untuk mencapainya mesti melalui ende atau tangga ke atas (ibid).
G. Mandar Dalam Peta
Jika Mandar ditilik ke dalam peta, maka ia terletak pada posisi antara 118 ° dan 119° BT serta antara 10 dan 30 LS. Artinya, Mandar terletak dari arah selatan ke utara di pesisir barat Pulau Sulawesi, yaitu antara Binanga Karaeng di bagian Selatan dan Suremana di sebelah Utara, dengan batas-batas sebagai berikut ; di sebelah berbatasan dengan Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Tator, di timur berbatasan dengan Kabupaten Tator dan Kabopaten Luwu, di Utara berbatasan dengan Propensi Sulawesi Tengah, dan di barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Sementara Drs. Muis Mandra (2004) menulis jika bertumpu pada deklarasi Assitaliang Luyo yang ditandai dengan Allanarcngan Batu maka dapat dijelaskan, bahwa wilayah Mandar dimulai dari arah utara Mandar yang berbatasan dengan Lalombi yang kini masuk ke wilayah Sulawesi Tengah. Sedangkan Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Poso, Kabupaten Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja,
utamanya di daerah dan wilayah pegunungan. Dan sebelah selatan Mandar berbatasan dengan Binanga Karaeng yang terletak disekitar wilayah Kabupaten Pinrang. Sedang sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Selanjutnya sebagai sebuah daerah, yang di dalamnya terdiri dari banyak komunitas etnis, seperti, Bugis, Makassar, Bali, Jawa, China dan lain sebagainya. Ditambah beragamnya profesi dan kegiatan keseharian masyarakatnya, kontan membuat tingginya dinamika kehidupan penduduk, baik yang masuk maupun keluar dan berdiam di daerah Mandar tersebut. Menurut UU NO. 23 Tahun 1959, daerah Mandar di bagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Polewali Mamasa, Majene dan Mamuju yang jika di petakan adalah sebagai berikut ; Pertama, Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) secara geografis terletak antara 12° 5'- 12° 50 BT dan 2° 40 - 33° 32' LS dengan luas wilayah 4781,53 km'. panjang pantai yang menelusuri wilayah kabupaten Polmas mulai dari Paku sampai Tandung diperkirakan sekitar 70 km. Yang kedua, Kabupaten majene terletak di sebelah utara bagian barat Jazirah Sulawesi Selatan atau pesisir utara Teluk Mandar, dengan letak geografis antara 2° 38'45" - 3" 04'15" LS dan antara 118° 45 00 - 119° - 0445" BT dengan luas wilayah 947,85 km-' dan panjang pantai sekitar 85 km. Dan yang ketiga, Kabupaten Mamuju
secara geografis terletak di bagian utara dari propensi Sulawesi Selatan tepatnya pada posisi geografis O° 52' 00" - 2° 54 52 LS dan 118° 43 15" - 119° 56'o3" BT. Luas Kabupaten Mamuju ialah 1.105.781 ha dan panjang pantai sekitar 435 km.
Lalu pada perjalanannya kemudian, setelah terjadi kebijakan pemerintah yang berupa otonomi daerah, yang salah satu biasnya adalah mendorong beberapa pemekaran wilayah. Terlebih wilayah Mandar lalu kemudian berubah pula dan menjadi Provinsi Sulbar dengan luas wilayah sebagai berikut ; Polmas, terletak di sebelah utara Kota Makassar. Memiliki luas wilayah 2.022,30 km2 berbatasan dengan sebelah utara Kabupaten Mamasa, sebelah selatan Selat Makassar, sebelah Timur Kabupaten Pinrang, dan sebelah barat Kabupaten Majene. Secara administrative, pemerintahan di akbupaten polmas terdiri atas 15 kecamatan, 26 kelurahan dan 108 Desa.
Sedangkan Kabupaten Majene yang beribukota di Majene berada sekitar + 302 km dari kota Makassar, terletak di pesisir pantai barat Sulawesi selatan dengan batasan wilayah; sebelah utara dengan kabupaten Mamuj u, sebelah timur dengan Kabupaten Polmas, sebelah selatan dengan Teluk Mandar dan sebelah barat dengan Teluk Makassar. Memiliki luas wilayah sebesar 947,84 km. Secara administratf pemerintahan di kabupaten Majene terdiri atas 4
(empat) Kecamatan, 14 Kelurahan dan 21 Desa. Berikutnya Mamuju dengan ibukota Mamuju terletak ± 44s km dari kota Makassar, berbatasan dengan Kabupaten Majene, Kabupaten Polmas, Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, Kabupaten Mamuju Utara dan sebelah barat dengan Selat Makassar dan Kalimantan Timur. Luas Wiayah mencapai 11. 033,18 ha, dan secara administratif terdiri atas 15 Kecamatan, 119 Desa dan 8 Kelurahan.
Untuk Kabupaten Mamasa dengan ibu kota Mamasa, memiliki luas wilayah 2.759,23 km' atau 275.932 Ha, dengan batas-batas; Sebelah utara Kabupaten Mamuju, sebelah Timur Kabupaten Tanah Toraja dan Pinrang, sebelah selatan Kabupaten Polmas, sebelah barat Kabupaten Polmas dan Majene. Secara administratif, pemerintahan Kabupaten Mamasa terdiri dari 10 Kecamatan, 120 Desa dan 12 Kelurahan. Terakhir wilayah Mamuju Utara merupakan segi tiga emas yang menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Memiliki luas wilayah 3.043,75 km, dengan batas-batas; Sebelah utara Sulawesi Tengah, sebelah Timur Sulawesi Tengah, sebelah selatan Kabupaten Mamuju, sebelah barat Selat Makassar. Sacara administratif, pemerintahan Kabupaten Mamuju Utara terdiri atas 4 Kecamatan dan 33 Desa.

mandar 28, februari,2011

Manakss

sejarah mandar


Diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa
, sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Latar Kesejarahan
Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.
Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentang di negerinya. Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todatodang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan dinapo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. proses pemelihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.
Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka, itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (. Ia juga memprakarsai Muktamar Tamenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’ yang berarti saling kuat menguatkan
Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malute Tasi, Kelompok Ajataparang, dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen)
Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.
Tinjauan Akhir
Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengeban nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembanhkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo. 


Mandar 28,Februari,2011